Ciri lainnya ialah, tanaman porang memiliki batang yang tegak, lunak dan tekstur batang yang halus dan berwarna hijau belang-belang dengan totol putih.
Porang nama lokalnya adalah Wanga. Tanaman ini ditempat saya awalnya disepelekan karena dianggap tanaman hutan yang tidak bermanfaat. Ada kalanya dibabat begitu saja lantaran diklaim sebagai tanaman pengganggu bagi tanaman lain.
Tapi vonis itu sesekini berbalik 180 seiring banyaknya pembisnis tanaman porang yang blusukan kedesa-desa untuk mencari dan membeli.
Kebanyakan dari para pembeli ini adalah para saudagar yang datang dari Jawa Timur sana. Konon katanya, umbi porang itu nantinya akan diekspor ke Negeri Sakura, Jepang. Umbi porang dimanfaatkan sebagai bahan baku pembuatan bahan makanan, lem, alat kosmetik dan masih banyak lagi.
Di tempat saya, Manggarai, harga porang kini harganya mengalami kenaikan. Jika pada tulisan-tulisan sebelumnya harganya berkisar antar 55 ribu, kini mengalami penanjakan 3 digit alias 86 ribu.
Dengan rincian, untuk umbi porang kering per kilonya dihargai 86 ribu. Sementara umbi mentah 33 ribuan.
Saya sendiri sudah menanam sekitar 100 lebih bibit porang. Tepatnya awal Januari 2020 yang lalu. Ditambah lagi bulan Januari kemarin merupakan bulan basah, waktu yang tepat untuk bercocok tanam porang.
Jika melihat volume tanaman porang yang sudah saya tanam, jumlahnya memang masih sangat sedikit. Rencananya ditambah 900 bibit lagi. Biar nanggung sekalian maksudnya, pun selagi lahan masih memungkinkan. Hehe
Baca juga: Candela Porang di Manggarai
Tapi memang sejauh ini saya masih kewalahan untuk mendapatkan tambahan bibit, oleh karena sekarang ini banyak peminat dan jadi rebutan. Direksa wilayah Manggarai orang-orang sudah ramai membudidayakan porang.