Mohon tunggu...
Guıɖo Arısso
Guıɖo Arısso Mohon Tunggu... Insinyur - ᗰᗩᖇᕼᗩEᑎ

ᗰᗩᖇᕼᗩEᑎ

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Artikel Utama

Masyarakat Manggarai Sebagai "Manusia Bambu", dan Filsafat Leibniz

23 Januari 2020   02:11 Diperbarui: 30 Januari 2021   19:22 937
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Religiusitas orang Manggarai itu membumi dan tidak mengawang-awang.  Seperti halnya bambu juga bergerak beriringan, kompak bergerak mengikuti kemana angin bertiup". 

Di sini simbol yang ingin diungkapkaan bahwa, orang Manggarai merupakan suatu etnisitas, komunitas dan atau kelompok. Sulit membayangkan orang Manggarai tanpa komunitas. Inilah dua intisari manusia Manggarai sebagai Manusia Bambu. Pesan ini memiliki makna yang dalam untuk direfleksikan, tentu saja. 

Untuk mengaktualkan pesan 'Manusia Bambu' ini, nenek moyang orang Manggarai telah mewarisinya dalam rupa tuturan (go'et) dan juga melalui lagu-lagu rakyat, berupa tariaan Sanda. Dalam nyanyian adat dikenal dengan lagu "Sanda Gurung".

Sanda sendiri diartikan sebagai gerak jalan berbaris sembari menyanyi antar pria dan wanita dengan memakai pakaiyan adat Manggarai. Pun, Sanda hanya bisa dilakukan/pentaskan pada saat malam hari di dalam Mbaru Gendang (rumah adat Manggarai).

Tarian sanda ini dilakukan dengan cara melingkar dengan ritme tertentu. Sehingga melambangkan satu titik pusat yang mengatur semuanya. Titik itulah yang menjelaskan Mori Jari Dedek (Tuhan Sang Pencipta). Tarian Sanda juga diejawantahkan sebagai sarana komunikasi dengan Mori Jari Dedek.

Manusia Bambu dan Filsafat Leibniz

Seperti yang saya terangkan sebelumnya bahwa, dari kacamata sosial-kebudayaan, masyarakat Manggarai disebut juga sebagai Manusia Bambu, dan cerita tersebut telah diwariskan secara turun-temurun. 

Dalam artian Manusia Bambu adalah manusia religius (berTuhan) dan sehat secara jasmani lahiriah. Dalam hal ini selaras dengan pandangan Laibniz dalam Deus Sive Natur (Allah atau Alam). Dimana substansi itu banyak dan Tuhan itu benar-benar diyakini ada.

Masyarakat manggarai pun meyakini bahwa Mori Jari Dedek (Tuhan Sang Pencipta) betul-betul mencintai umatnya. Sehingga berangkat dari hal itu, masyarakat Manggarai hingga kini percaya akan kebaikan Tuhan dan juga tunduk pada hukum alam.

Menurut Leibniz juga, Tuhan yang menjadi pusat kehidupan itu memimiliki kekuatan ajaib dan agung, sehingga monad bergerak menyusun dunia yang telah dikaruniai kedalam diri mahluk (baca: manusia) pada saat awal penciptaan. 

Monad di bagi menjadi dua hal seperti yang telah ditunjukkan sebelumnya. Alam mencakup semua monad-monad non-rasional, sedangkan kerajaan kasih karunia (Tuhan) mencakup semua jiwa rasional.

Berangkat dari pemikiran Leibniz di atas dapat disimpulkan bahwa, dunia tempat kita berpijak sekarang ini adalah dunia yang sudah ditentukan oleh Tuhan sebelumnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun