Tulisan ini berisi penjelasan tentang masyarakat Manggarai sebagai "Manusia Bambu", dan saya coba mengkorelasikannya dengan pemikiran filsuf Leibniz.
Tulisan ini juga sengaja dibuat oleh karena sebelumnya saya mendapat petunjuk dan/atau arahan dari Prof Apollo, agar membaca kajian filsafat ala Gottfried Leibniz. Tujuannya tak lain untuk menemukan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang selama ini berlalu-lalang di dalam batok kepala saya.
Adapun beberapa hal yang menjadi buah pertanyaan saya adalah, Apakah benar tumbuhan memiliki jiwa dan bisa merasakan sebagaimana mahluk ciptaanNya yang lain? Lalu, dengan cara apa kita bisa mengetahuinya?.
Setelah mendalami beberapa inti dari pemikiran Leibniz itu, saya sampai pada sebuah kesimpulan bahwa, Tuhan (substansi dasar dari penciptaan monade-monade) telah menunjukan eksistensinya (kebesaran) dengan hidup di dalam jasad-jasad organik (baca; tumbuhan).
"Tumbuhan juga memiliki jiwa dan bisa merasakan. Kemahakuasaan Tuhan telah menjadikannya mungkin" begitu salah satu buah pemikiran Leibniz.
Masyarakat Manggarai sebagai Manusia Bambu
Dalam tataran kehidupan sosial-budaya masyarakat Manggarai, sedemikian meyakini bahwa manusia Manggarai adalah Manusia Bambu. Sejauh ini cerita tentang manusia bambu tersebut hanya diwariskan secara lisan dan belum ada catatan-catatan yang telah dibukukan.
Sehingga bolehlah kita menyebutnya dengan istilah mitologi.
Kebetulan juga, istilah Manusia Bambu ini saya baru tahu dari dua hari yang lalu dari sang kakek. Sisi lain, kakek saya merupakan seorang Tua Golo (orang yang dituakan dalam satu kampung) dan sudah makan garam terkait istilah-istilah dalam adat Manggarai.
Lebih lanjut, kisah masyarakat Manggarai sebagai Manusia Bambu dikenangkan dalam tutur adat (Goet) "Bok onemai betong, bengkar one mai belang. (Tunggul / tunas yang berasal dari bambu )", sehingga manusia Manggarai kerap direpresentasikan sebagai sosok yang mekar (lahir) dari bambu (belang).
Bambu (belang) dalam pertumbuhannya memiliki orientasi ke atas. Lalu, setelah itu tunduk dan runduk menatap tanah. Pesan yang ingin disampaikan adalah manusia Manggarai adalah mahluk rohani (spiritual) yang erat melekat dengan realitas bumi.
Fakta lain juga menyuguhkan bahwa, manusia Manggarai juga adalah mahluk jasmani (jiwa).
"Religiusitas orang Manggarai itu membumi dan tidak mengawang-awang. Seperti halnya bambu juga bergerak beriringan, kompak bergerak mengikuti kemana angin bertiup".
Di sini simbol yang ingin diungkapkaan bahwa, orang Manggarai merupakan suatu etnisitas, komunitas dan atau kelompok. Sulit membayangkan orang Manggarai tanpa komunitas. Inilah dua intisari manusia Manggarai sebagai Manusia Bambu. Pesan ini memiliki makna yang dalam untuk direfleksikan, tentu saja.
Untuk mengaktualkan pesan 'Manusia Bambu' ini, nenek moyang orang Manggarai telah mewarisinya dalam rupa tuturan (go'et) dan juga melalui lagu-lagu rakyat, berupa tariaan Sanda. Dalam nyanyian adat dikenal dengan lagu "Sanda Gurung".
Sanda sendiri diartikan sebagai gerak jalan berbaris sembari menyanyi antar pria dan wanita dengan memakai pakaiyan adat Manggarai. Pun, Sanda hanya bisa dilakukan/pentaskan pada saat malam hari di dalam Mbaru Gendang (rumah adat Manggarai).
Tarian sanda ini dilakukan dengan cara melingkar dengan ritme tertentu. Sehingga melambangkan satu titik pusat yang mengatur semuanya. Titik itulah yang menjelaskan Mori Jari Dedek (Tuhan Sang Pencipta). Tarian Sanda juga diejawantahkan sebagai sarana komunikasi dengan Mori Jari Dedek.
Manusia Bambu dan Filsafat Leibniz
Seperti yang saya terangkan sebelumnya bahwa, dari kacamata sosial-kebudayaan, masyarakat Manggarai disebut juga sebagai Manusia Bambu, dan cerita tersebut telah diwariskan secara turun-temurun.
Dalam artian Manusia Bambu adalah manusia religius (berTuhan) dan sehat secara jasmani lahiriah. Dalam hal ini selaras dengan pandangan Laibniz dalam Deus Sive Natur (Allah atau Alam). Dimana substansi itu banyak dan Tuhan itu benar-benar diyakini ada.
Masyarakat manggarai pun meyakini bahwa Mori Jari Dedek (Tuhan Sang Pencipta) betul-betul mencintai umatnya. Sehingga berangkat dari hal itu, masyarakat Manggarai hingga kini percaya akan kebaikan Tuhan dan juga tunduk pada hukum alam.
Menurut Leibniz juga, Tuhan yang menjadi pusat kehidupan itu memimiliki kekuatan ajaib dan agung, sehingga monad bergerak menyusun dunia yang telah dikaruniai kedalam diri mahluk (baca: manusia) pada saat awal penciptaan.
Monad di bagi menjadi dua hal seperti yang telah ditunjukkan sebelumnya. Alam mencakup semua monad-monad non-rasional, sedangkan kerajaan kasih karunia (Tuhan) mencakup semua jiwa rasional.
Berangkat dari pemikiran Leibniz di atas dapat disimpulkan bahwa, dunia tempat kita berpijak sekarang ini adalah dunia yang sudah ditentukan oleh Tuhan sebelumnya.
Kurang lebih demikian. Terima kasih.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H