Belakangan ini, dunia pers tanah air dikejutkan dengan munculnya pasal-pasal kontroversial dalam RUU Penyiaran yang mendapat banyak sorotan dan kritik dari publik.Â
Alasannya, lewat RUU Penyiaran ini pemerintah nantinya akan memiliki kekuasaan absolut untuk menentukan standar kebenaran, moralitas, dan lain-lain versi mereka. Tentu ini adalah alarm buruk bagi demokrasi dan kita semua harus menolaknya.
RUU Penyiaran yang merupakan inisiatif DPR ini ternyata tidak hanya berdampak pada teman-teman jurnalis, tetapi juga para konten kreator yang menciptakan podcast dan konten lainnya di berbagai platform media sosial.
Hal yang paling disoroti dari RUU penyiaran ini adalah dilarangnya penayangan investigasi jurnalistik. Hal ini jelas sangat berbahaya karena banyak sekali produk jurnalisme investigasi yang berhasil membongkar aib dan kejahatan para pejabat kita. Kalau hal itu dilarang, tahu 'kan siapa yang bakal diuntungkan?
Sebenarnya, RUU ini sudah direncanakan sejak lama untuk merevisi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran. Undang-Undang Penyiaran yang lama dianggap sudah ketinggalan zaman karena hanya mengatur terkait siaran televisi dan radio.Â
Dengan perkembangan teknologi saat ini, muncullah platform-platform OTT seperti Netflix, Prime, Disney serta media sosial yang memungkinkan orang-orang bisa aktif membuat karya mereka sendiri.
Lalu, bagaimana dampaknya terhadap para content creators?
Apakah mereka bakal terkena dampak buruknya?
Jawabannya iya, jelas sangat terdampak dan dampaknya sangat negatif.
Menurut pemerintah, platform OTT dan konten media sosial perlu diregulasi untuk memberikan edukasi yang baik bagi masyarakat.Â
Di draft RUU ini, definisi penyiaran diperluas lagi sehingga Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) memiliki wewenang untuk mengurusi konten-konten di media digital.Â
Niatnya sih memang bagus karena undang-undang penyiaran lama perlu diperbarui, tetapi masalahnya isi dari pasal-pasalnya malah mengekang kebebasan berekspresi kita di dunia digital.
Ada banyak permasalahan dalam RUU Penyiaran ini, seperti tumpang tindih dengan Undang-Undang ITE dan bagaimana RUU ini mencoba mengambil peran Dewan Pers, Lembaga Sensor Film (LSF), dan lain-lain.
Ketakutan pemerintah terhadap kebebasan bersuara dan berpendapat sangat terasa dalam RUU ini. Misalnya, pada Pasal 8A dan 34F yang mengharuskan konten kreator memverifikasi kontennya ke KPI.Â
Misalnya, Pasal 8A Ayat 1 menyebutkan bahwa KPI berwenang mengeluarkan tanda lulus kelayakan isi siaran, dan Pasal 34F mewajibkan penyelenggara platform digital untuk melakukan verifikasi konten siaran.
Jika RUU ini disahkan, setiap konten yang dibuat nantinya wajid disetujui dulu oleh KPI sebelum ditayangkan ke publik. Itu pun belum tentu lolos, sebab konten harus tunduk pada Standar Isi Siaran (SIS).Â
Masalahnya, SIS ini sangat 'karet' seperti Undang-Undang ITE. Misalnya, konten digital tidak boleh menampilkan unsur kekerasan, mistis, yang berhubungan dengan rokok, narkotika, serta gaya hidup negatif.Â
Aturan ini berpotensi menciptakan sensor yang berlebihan dan pembatasan terhadap keberagaman konten seperti film yang tayang di Netflix, Prime, Disney, dan lain-lain.
RUU ini juga mengatur penggunaan bahasa yang baik dan benar. Pasal 37 Ayat 1 menyebutkan bahwa bahasa utama dalam isi siaran harus menggunakan kaidah bahasa Indonesia yang baik dan benar. Bahasa asing hanya dapat digunakan dalam isi siaran tertentu yang mempunyai tujuan atau sasaran khusus.
Nggak kebayang, bakal sekaku dan seformal apa jadinya konten digital nanti!
Hal yang paling mengerikan dari RUU ini bukan hanya soal pengaturan isi kontennya, tetapi juga bagaimana RUU ini bekerja sebagai pengaturan dan pendisiplinan terhadap pikiran kita.Â
Kita jadi punya sedikit kuasa untuk mengekspresikan kreativitas dan kegelisahan dalam konten digital. Misalnya, seorang penulis film horor akan kesulitan karena aturan tidak memperbolehkan menampilkan unsur mistik. Seseorang yang vokal mengkritik pemerintah di media sosial juga akan menghindari topik-topik sensitif demi menghindari sanksi.
RUU ini juga berdampak pada industri kreatif karena pembatasan terhadap kreativitas juga berdampak pada pendapatan para konten kreator.Â
Dengan adanya larangan terhadap konten yang mengandung unsur pornografi, kekerasan, narkoba, alkohol, perjudian, dan LGBT, keragaman konten yang tersedia di platform digital akan semakin berkurang.
Menurut Wakil Ketua Komisi I DPR, aturan-aturan ini perlu diterapkan untuk melindungi anak-anak dari pengaruh negatif tayangan. Padahal, platform OTT sudah memiliki parental control yang memerlukan peran orang tua dan platform digital yang lebih besar ketimbang negara.Â
Kita bisa mencontoh revisi Audiovisual and Media Services (AVMSD) Uni Eropa yang mengatur agar konten yang ditampilkan ke anak sesuai dengan usia mereka, dan melarang menggunakan data privasi anak secara sembarangan demi kepentingan bisnis semata.
Jadi, apakah konten berbasis internet ini tidak perlu diatur?
Tetap perlu tetapi caranya yang harus diperhatikan. Meluaskan definisi penyiaran bukanlah solusi dan memasukkan aturan-aturan yang karet malah bisa membatasi kreativitas masyarakat.Â
Perlu undang-undang khusus yang mengatur konten digital dengan semangat yang bukan larang-melarang saja, tetapi bagaimana media digital bisa menjadi ruang demokratis untuk semua orang dan memperluas dampak ekonomi kreatifnya.
Apa pendapat kalian?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H