Mohon tunggu...
Gugus Febriansyah
Gugus Febriansyah Mohon Tunggu... Penulis - Blogger

Aseli wong Jawa Timur bermukim di gugusfebriansyah.com

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Ribut RUU Penyiaran, Jadi Susah Bikin Konten Seru di Media Sosial

30 Mei 2024   07:53 Diperbarui: 1 Juni 2024   14:30 564
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi: Bermain media sosial. (Sumber: pexels.com)

Ketakutan pemerintah terhadap kebebasan bersuara dan berpendapat sangat terasa dalam RUU ini. Misalnya, pada Pasal 8A dan 34F yang mengharuskan konten kreator memverifikasi kontennya ke KPI. 

Misalnya, Pasal 8A Ayat 1 menyebutkan bahwa KPI berwenang mengeluarkan tanda lulus kelayakan isi siaran, dan Pasal 34F mewajibkan penyelenggara platform digital untuk melakukan verifikasi konten siaran.

Jika RUU ini disahkan, setiap konten yang dibuat nantinya wajid disetujui dulu oleh KPI sebelum ditayangkan ke publik. Itu pun belum tentu lolos, sebab konten harus tunduk pada Standar Isi Siaran (SIS). 

Masalahnya, SIS ini sangat 'karet' seperti Undang-Undang ITE. Misalnya, konten digital tidak boleh menampilkan unsur kekerasan, mistis, yang berhubungan dengan rokok, narkotika, serta gaya hidup negatif. 

Aturan ini berpotensi menciptakan sensor yang berlebihan dan pembatasan terhadap keberagaman konten seperti film yang tayang di Netflix, Prime, Disney, dan lain-lain.

RUU ini juga mengatur penggunaan bahasa yang baik dan benar. Pasal 37 Ayat 1 menyebutkan bahwa bahasa utama dalam isi siaran harus menggunakan kaidah bahasa Indonesia yang baik dan benar. Bahasa asing hanya dapat digunakan dalam isi siaran tertentu yang mempunyai tujuan atau sasaran khusus.

Nggak kebayang, bakal sekaku dan seformal apa jadinya konten digital nanti!

Hal yang paling mengerikan dari RUU ini bukan hanya soal pengaturan isi kontennya, tetapi juga bagaimana RUU ini bekerja sebagai pengaturan dan pendisiplinan terhadap pikiran kita. 

Kita jadi punya sedikit kuasa untuk mengekspresikan kreativitas dan kegelisahan dalam konten digital. Misalnya, seorang penulis film horor akan kesulitan karena aturan tidak memperbolehkan menampilkan unsur mistik. Seseorang yang vokal mengkritik pemerintah di media sosial juga akan menghindari topik-topik sensitif demi menghindari sanksi.

RUU ini juga berdampak pada industri kreatif karena pembatasan terhadap kreativitas juga berdampak pada pendapatan para konten kreator. 

Dengan adanya larangan terhadap konten yang mengandung unsur pornografi, kekerasan, narkoba, alkohol, perjudian, dan LGBT, keragaman konten yang tersedia di platform digital akan semakin berkurang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun