Penulis: Kayla Aurelia Paramita
Kelas: Â X 2A
-----------------
Sekelebat warna merah muda melesat melalui barisan gedung yang begitu banyak. Warna merah muda itu dihiasi oleh taburan warna putih, dari salju yang turun di malam itu. Gadis itu tetap berlari tanpa memedulikan banyaknya taburan salju yang hampir menutupi pandangannya. Ia tetap berlari, sembari kaki mungilnya menjejaki hamparan salju yang menutupi jalanan. Ia sungguh berharap kakinya tidak diciptakan semungil itu, karena itu berarti Ia harus menempuh jarak yang lebih lebar agar bisa sampai ke tujuannya.
Agar bisa sampai ke sahabatnya.
Sahabatnya yang kini terbaring di ruang darurat, yang bisa hilang dari hidupnya kapan saja. Temannya yang kini sedang berada di tengah-tengah jembatan hidup dan mati, dan hanya bisa terbaring lemah di ranjang kematiannya. Ia ingin menemuinya. Ia ingin kembali merengkuhnya ke dalam dekapannya, tanpa harus meninggalkannya. Ia tak ingin pertemuan ini jadi yang terakhir.
Gadis itu tetap berlari, mengusap matanya yang mulai kabur akibat air mata yang mulai membasahi wajahnya. Ia bisa merasakan betapa dinginnya angin musim dingin yang menerpa wajahnya, ditambah dengan air matanya yang mulai membeku. Ia tak ingin kehilangan sahabatnya. Ia tak ingin menjalani hidupnya setelah ini tanpa kehadirannya.
Ia membutuhkan sahabatnya. Anak laki-laki dengan rambutnya yang bergelombang di ujung, dengan senyuman manis melebihi madu, dan dengan tubuh yang lebih nyaman dari kapuk mana pun. Ia membutuhkan sahabatnya untuk tetap hidup. Sahabatnya adalah satu-satunya hal yang baik dalam kehidupan ini. Tak ada hal lagi yang bisa membuatnya tetap menjejaki dunia yang penuh ketidakadilan ini.
Dan akhirnya, gadis itu sampai ke tujuannya.
Dia sudah sampai ke sahabatnya.
Tanpa menunggu lama, Gadis berambut merah muda itu langsung berlari ke konter, menanyakan keberadaan sahabat yang begitu Ia sayangi. Ia langsung beranjak, dengan napas yang terengah-engah, menyusuri tangga, elevator, lorong, Apa pun yang bisa membuatnya sampai ke sahabatnya itu. Begitu Ia sampai, Ia hanya bisa termenung.
Lewat kaca yang Ia lihat, sahabatnya itu sedang berguncang hebat. Ia bisa melihat para dokter mulai panik, terus menerus mengejutkan tubuh sahabatnya dengan listrik bervoltase tinggi. Ia tahu bahwa mereka mencoba mengejutkan jantungnya, agar sahabatnya itu bisa kembali memompa darah dalam organ terpentingnya. Tapi, itu berarti bahwa jantungnya sudah berhenti.Â
Gadis itu hanya bisa memukul kaca yang menghalangi jarak antaranya dan sahabat terkasihnya. Air matanya yang tadi sempat
       Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H