Setelah Heru ternyata tidak datang di Teman Ahok Fair, di Balaikota beredar kencang isu bahwa Heru Budi Hartono akan mundur dari Cawagub Ahok.
Ketika berita itu dikonfirmasi ke Heru; reaksi pertama adalah bantahan. Namun di berita online yang masuk belakangan, Heru berujar : tanya pak Ahok saja!
Berbeda dengan Heru, atas isu itu Ahok menjawab bahwa kemungkinan Heru ingin ngalah pada Djarot Saiful Hidayat.
http://m.metrotvnews.com/news/metro/3NOYXL2k-ahok-mungkin-heru-mau-ngalah-buat-djarot
Apa implikasi dari mundurnya Heru? Yang jelas adalah KTP sejumlah 900ribu yang dikumpulkan sejak Maret 2016 akan menjadi tidak terpakai lagi. Pengumpulan ulang yang sempat dipestakan Teman Ahok saat menembus minimum 530ribu, pesta selamatan saat Luar Batang diratakan dengan buldoser atas perintah Ahok.
900ribu KTP yang dirayakan di Teman Ahok Fair; yang katanya sukses mengumpulkan Rp 1,4 miliar demi untuk mengawal proses verifikasi. Teman Ahok sudah menyombong bahwa 'sebuah sejarah telah ditulis'. Rasanya baru sehari pernyataan itu terucap, kini sejarah yang baru ditulis itu akan tidak terpakai alias masuk tong sampah?
Atau Teman Ahok bakal ngumpul KTP ulang lagi ketiga kalinya dengan nama Cawagub Djarot; jika seperti kata Ahok, Heru mau mengalah kepada Djarot? Jika ya, adakah peristiwa yang lebih bodoh dari ini dalam sejarah politik Indonesia?
Hal lain adalah untuk konsekwensi yang sedemikian berat; ternyata Ahok dengan enteng saja mengatakan 'mungkin mau ngalah sama Djarot', dan jawaban Heru : 'tanya sama pak Ahok'. Harusnya sudah jadi pertanda bagi orang yang paling naif sekalipun : apakah Ahok memang berniat maju independen dengan modal KTP untuk Ahok?
Orang yang berniat pasti akan menghargai KTP yang sudah terkumpul. Pasti akan memperjuangkan KTP tsb tidak hangus. Pasti akan berusaha mempertahankan Heru agar tidak mundur. Tapi apakah itu kenyataannya?
Seperti kita ketahui, Setya Novanto sudah mengeluarkan pernyataan dukungan kepada Ahok; dan dengan suara dari Golkar maka Ahok sudah bisa memenuhi minimum kursi untuk pencalonannya. Tapi di internal Golkar, Setya Novanto mengalami perlawanan. Hal paling konyol adalah bagaimana Golkar yang memiliki kader internal harus mendukung calon independen dari luar yang merupakan produk dari ketidakpercayaan kepada Parpol.
Di lain pihak, Ahok akan mengalami masalah berat saat verifikasi KTP. 600ribu KTP pertama dikumpulkan sebelum citra bersih Ahok tergerus sejak penangkapan terhadap Sanusi dan Ariesman. Ahok ternyata bukan air suci yang mensucikan seperti klaim Teman Ahok. Mulut kasarnya tak lagi istimewa sebab bukan ketegasan yang keluar dari hati yang bersih. Berapa KTP yang masih tetap mendukung Ahok saat diverifikasi? Ini adalah sebuah perjudian.
Kemudian 300ribu KTP yang terkumpul setelah jatuhnya citra Ahok, tergerusnya elektabilitasnya dan sepinya booth-booth Ahok di mall; diragukan banyak pihak kesahihannya bahwa ini sekedar klaim sepihak Teman Ahok.
Proses verifikasi sendiri cukup berat. Pemilik KTP harus ada di tempat, jika tidak maka harus dimobilisasi ke tempat pendaftaran atau kantor kelurahan pada saat yang ditentukan. Berapa banyak warga DKI yang sibuk mau meluangkan waktu jika saat Pilkada yang sebenarnya, banyak yang pilih golput sebab malas ke tempat pencoblosan?
Ketiga faktor tersebut bukan sepele. Setelah gembar-gembor dan pamer arogansi; bayangkan betapa malunya jika jumlah KTP yang bisa diverifikasi ternyata kurang dari batas minimum? Kalah di Pilgub mungkin masih bisa ada alasan. Tapi kalau sebelum maju saja sudah terlihat KTP yang dikumpulkan pada bodong apakah masih perlu maju Pilgub? Modal Ahok selama ini ya mitos elektabilitasnya yang dipepes dan ditumis terus menerus oleh media pendukungnya dan lembaga survey. Apalagi jika sampai gagal maju, pasti kiamatnya serasa terjun dari Monas.
Sebenarnya niat Ahok sudah terbaca sejak awal. Pengumpulan KTP ini hanya bargaining chip saja. Buktinya pada saat Teman Ahok mengepul KTP, Ahok sibuk menggalang dukungan parpol. Dengan partai yang kursinya gurem juga rela pakai jaket, neken formulir pendaftaran seperti pemulung duit recehan sementara sesumbar tak butuh partai.
Niatnya untuk menggertak PDIP dengan 700ribu KTP pengumpulan pertama ternyata digemboskan Yusril; yang memberitahu PDIP dan masyarakat, semua KTP itu tak ada nilainya dan harus dikumpulkan ulang. Sejak itu kesaktian Ahok di mata PDIP hilang, malah dirinya harus meringis dibully Megawati di acara launching buku.
Rindu dendam Ahok ingin dipinang PDIP bisa dipahami, sebab dengan PDIP Ahok tak perlu lagi meladeni yang gurem. Lebih indah lagi jika partai yang kursinya cukup untuk nyalon sendiri ini bertekuk lutut kepada Ahok. Namun merapatnya PDIP dan Gerindra membuat Ahok panik. Sehingga berkali-kali memberi sinyal sangat ngarep, mengaku dekat dan disayang Megawati. Sehingga tanpa malu-malu langsung menyebut Heru mundur untuk memberi tempat Djarot. Harapannya, dengan menggandeng Djarot selain mensabotase idea Sjafrie-Djarot; juga mengamankan dirinya untuk diusung PDIP.
Ahok perlu alasan 'terhormat' untuk maju lewat Parpol dan membuang KTP buat Ahok; apa yang lebih bagus dari Heru yang mundur sehingga KTP batal dan Ahok 'terpaksa' ikut Parpol? Di sipoanya Ahok, dulu Heru pun cuma calon yang diciptakan dengan terburu-buru dalam semalam saat KTP jilid satu batal dan harus cepat mengepul KTP jilid dua. Setelah Ahok gagal membujuk Djarot maju independen bersamanya, membelakangi PDIP. Beberapa pengamat politik seperti Tjipta Lesmana menganggap Heru pilihan salah yang tak punya nilai jual. Jadi apa ongkosnya 'membuang' Heru? Setelah Heru mundur, KTP batal maka Ahok dengan sedih melepas mimpinya untuk maju independen mendobrak dominasi parpol busuk! Dan demikian juga Parpol tidak malu lagi mendukung Ahok sebab Ahok resmi dicalonkan Parpol.
Apabila akhirnya PDIP tetap tak sudi mendukung Ahok; minimal dengan mundurnya Heru maka posisi Cawagub jadi terbuka untuk kandidat dari Golkar. Maka akan lebih mudah untuk Papa Setya Novanto menggolkan wacana mendukung Ahok di internal Golkar.
Siasat yang sekilas terlihat pintar; tapi sebenarnya mudah terbaca. Kasar dan memualkan, tanpa nurani dan etiket di antara proses politik yang semakin vulgar dan tidak bermalu di bawah rezim ini.
Siapa yang dirugikan? Teman Ahok? Mereka seperti yang semakin terungkap, adalah perpanjangan tangan dari Cyrus. Konsultan politik tidak bermain untuk menang kalah, apalagi idealisme. Mereka dibayar untuk menjalankan perannya.
Siapa lagi yang lebih naif daripada para pengumpul KTP untuk Ahok yang tidak pintar-pintar? Terus menerus diperalat, dipermainkan ketulusannya dan dikadali dalam proses ini. Ibu yang mengumpulkan KTP tanpa sepengetahuan anaknya, lalu disebut 'ibu nyolong KTP' oleh Teman Ahok. Masih ingat?
Pertama para pengumpul KTP ini dikadali oleh konsultan yang kurang profesional, yang tidak paham UU, main ngumpulin KTP begitu saja. Atau memang mereka paham UU; tapi karena kepingin curi start sementara belum ada nama Cawagub, maka dikumpulin begitu saja padahal sudah tahu akan jadi bahan kayu bakar saja.
Padahal KTP identitas dan no telpon atau HP diserahkan begitu saja sangat beresiko disalahgunakan. Saya sudah pernah menulis ini di posting lama : http://m.kompasiana.com/gts69/rawannya-ktp-untuk-ahok_55e6bbdd6e7a61f007731629
Lalu pada awal Maret 2016; dengan sebuah statement saja dari Prof Yusril, ternyata KTP harus dikumpulkan ulang. Lalu dengan gencarnya berita Ahok maju independen, Ahok dizholimi melalui media terompet Ahok; mereka dibakar supaya berbondong-bondong kembali menyetor KTP. KTP lama diapain? Wallahualam. Apakah dijadikan bungkus bacem atau disorokkan begitu saja di Graha Pejaten, juga ngga tahu. Padahal database rawan dijual, baik kepada telemarketer, broker politik, penipu leasing sampai dipakai untuk beli narkoba. BNN saja selalu memperingatkan jangan serahkan identitas KTP karena rawan dipakai transaksi narkoba.
Apakah KTP para pendukung ini berada di tangan yang menghargai dan menjaganya? Pikir baik-baik, Ahok saja dengan enteng sudah siap membuang 900ribu ke tong sampah demi Golkar dan PDIP. Demi parpol yang disebut busuk saat mendukung Ahok maju independen.
Mau berapa kali pengumpul KTP ini dikadali Ahok? Orang buta saja tidak dua kali kehilangan tongkat, apalagi tiga kali? Camkan ini saat berada di TPS saat nyoblos. Itu kalau Ahok akhirnya sukses nyagub melalui parpol seperti rencananya.
Betapa patheticnya Kompasioner semacam Pendekar Solo yang bicara berapi-api soal mengawal proses verifikasi; atau seperti Jos Rampisela yang membuat info bahwa 45ribu orang sedang diseleksi Teman Ahok untuk mengawal verifikasi di puluhan ribu TPS. 45ribu orang dari mana?
Buzzer sosmed dan pendukung buta dari luar kota dan luar negeri modalnya hanya mencet tuts hape dan laptop. Buzzer dibayar sementara para pemberhala bermimpi basah nabi dari Belitung tanpa ongkos. Tapi para pemberi KTP meresikokan identitasnya yang berharga, idealismenya diperalat dan dijadikan tambang duit oleh konsultan politik; lalu mereka dikadali dan dikadali lagi oleh politisi petualang tak berhati.
Jakarta, 30 Mei 2016
GTS69
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H