Pasti banyak dari para pembaca yang sudah mengenal tempat ini (gunung Parang). Saya pun sebenarnya sudah tiga kali mengunjungi tempat ini tapi belum sempat mencoba menapaki dinding gunung Parang.Â
Oleh karena itu, suatu hari  tepat hari pertama puasa setahun yang lalu, bersama dengan tiga orang teman kami ingin mencoba via Ferrata di gunung Parang tersebut.
Kami berjanji untuk bertemu di UKI. Awalnya kami berencana untuk pergi sebelum jam 6 pagi untuk menghindari kemacetan di jalan tol. Namun, dua orang teman datang terlambat. Jadilah kami beru berangkat sekitar jam 6 lebih dan benar saja tol sudah padat. Supir yang membawa kami memutuskan untuk lewat jalan biasa karena walaupun padat namun masih jalan. OK ... jalan biasa.Â
Tiba di gunung Parang sudah siang dan panas. Seorang pemandu di tempat itu tidak menyarankan kami untuk naik pada siang hari karena besi yang akan kami pakai untuk berpegangan pasti panas sekali karena terkena paparan matahari.Â
Jadi kami disarankan untuk naik pada sore hari. Untuk mengisi waktu, daripada 'bengong', kami disarankan untuk pergi ke Panenjoan yang letaknya tidak jauh dari situ. Setelah beristirahat sebentar, kami pun pergi menuju Panenjoan.
Saya melihat Panenjoan sudah banyak berubah, karena sekarang sudah dibangun jembatan-jembatan bambu yang menghubungkan bukit yang satu dengan yang lain. Tempat ini memang cocok untuk berfoto-foto. Tentu saja kesempatan ini tidak kami lewatkan. Kami menapaki jembatan bambu tersebut. Pemandangannya indah sekali, apalagi saat cuaca sedang cerah.Â
Dari jembatan bambu tersebut kita dapat melihat danau Juanda Jati Luhur di kejauhan. Indah sekali. Setelah puas menikmati pemandangan dan berfoto, kami kembali ke Gunung Parang. Awalnya kami ingin mendaki Gunung Lembu dulu, tapi menurut pemandu yang ada di situ, paling bagus kalau naik pada sore hari. Jadi kami jadwalkan untuk mendakinya setelah dari via Ferrata.
Setelah sampai di dinding gunung, kami pun mulai naik satu per satu. Ternyata untuk naik, ada teknik tersendiri. Kami harus tautkan carabiner ke tangga besi, kemudian cara memegang talinya pun  harus sesuai aturan. Kami melakukan semua yang dijelaskan kepada kami. Kami langkahkan kaki menaiki tangga besi secara perlahan sambil sekali-kali berhenti untuk foto-foto (maklum ... jaman 'now' harus ada foto :) ) atau melihat pemandangan yang ada di kejauhan. Indah sekali.Â
Saya kebetulan naik paling belakang, jadi saya terhalang oleh teman-teman saya yang ketakutan. Â Sebenarnya pendakiannya sendiri tidaklah sulit, tapi bagaimana mengatasi rasa ketakutan dan kegamangan berada di ketinggian.Â
Sambil menunggu hujan berhenti,  kami beristirahat dan mandi karena badan terasa lengket.  Setelah mandi dan hujan mereda, kami kembali ke Jakarta. Kami tidak jadi mendaki gunung lembu karena hari sudah mulai gelap. Di perjalanan, kami tidak lupa  berhenti di warung sate Marangi. Ah nikmat sekali rasanya.Â
Kalau ada kesempatan lagi, tentu saya akan kembali lagi tidak saja ke gunung Parang, tetapi juga mencoba untuk mendaki gunung Lembu dan gunung lainnya yang ada di sekitar situ.
gmt100418
foto-foto: koleksi pribadi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H