Hari sudah malam saat kami tiba di bandara Cilik Riwut di Palangkaraya. Saat keluar bandara kami sudah dijemput oleh salah seorang teman yang tinggal dan bekerja sebagai dosen di sebuah perguruan tinggi di Palangkaraya. Mengingat kami belum makan malam, kami memutuskan untuk mencari makan sebelum pergi ke hotel. Kami dibawa ke sebuah tempat makan yang menyediakan makanan laut. Saat memesan makanan teman kami sempat berkomentar: “wah pantas orang-orang Jakarta banyak yang kaya, ikan seekor dimakan beramai-ramai”. Kami tidak mengerti maksudnya, namun enggan menanggapi ucapannya karena kami memang sangat lapar dan lelah.
Selesai makan, kami diantar menuju penginapan kami. Teman kami yang memesankan tempat tersebut karena kami pikir dia lebih tahu tentang kota tempat tinggalnya. Kaget juga saat tiba di penginapan, keadaannya tidak seperti yang penulis harapkan. Kamarnya besar, tetapi kalau harus memilih sendiri, pasti penulis tidak akan memilih tempat itu. Namun, kami malas kalau harus pindah hotel lagi.
Setelah mandi kami berempat pun tidur. Pagi hari sekitar jam 5 pagi salah seorang teman bangun untuk melakukan sembahyang subuh. Setelah itu dia mengajak kami untuk berjalan-jalan ke sebuah dermaga yang terletak dekat dengan hotel. Di dermaga tersebut kami ingin melihat matahari terbit, namun sayang pagi itu sedang mendung jadi kami tidak bisa melihat matahari terbit.
Kami memperhatikan perahu-perahu yang datang dan pergi ke dan dari dermaga tersebut. Ada beberapa perahu besar yang tertambat di tepi dermaga. Ada juga nelayan yang menurunkan ikan hasil tangkapannya yang diangkut ke pasar yang berada tidak jauh dari dermaga. Ada juga yang dinaikkan ke atas becak yang mangkal di situ.
[caption id="attachment_393187" align="aligncenter" width="300" caption="Becak di dermaga"][/caption]
[caption id="attachment_393188" align="aligncenter" width="300" caption="Hasil tangkapan"]
Cukup lama kami di sana, kami kemudian berjalan-jalan untuk mencari makanan. Sebetulnya hotel tempat kami menginap juga menyediakan makan pagi, namun kami ingin juga mencari makanan khas yang ada di dekat dermaga.
Ketika sedang melihat-lihat, kami menemukan perkampungan. Kampung tersebut terlihat bersih dan jalannya terbuat dari kayu. Kami pun berjalan masuk. Rupanya kami sedang memasuki perkampungan dimana rumah-rumahnya merupakan rumah-rumah panggung yang berdiri di atas air (sungai). Rumah-rumah ini disebut rumah lanting.
[caption id="attachment_393189" align="aligncenter" width="300" caption="Perkampungan"]
[caption id="attachment_393190" align="aligncenter" width="300" caption="Anak-anak di perkampungan"]
Rumah-rumah ini kelihatan bagus dan bersih, namun jangan lihat ke bawah atau belakangnya. Sampah menumpuk di sungai. Aduh, kenapa mereka tidak menjaga sungai mereka. Bukankah sungai itu harus dijaga kebersihannya karena ikan-ikan yang mereka makan diambil dari sungai tersebut?
Besar juga perkampungan tersebut. Di sana berdiri rumah ibadah, pasar dan juga sekolah. Banyak warung makanan yang sudah buka pagi itu. Kami melewati sebuah warung yang menata makanannya di atas meja di depan warungnya. Makanan yang disajikan berbagai macam dan warnanya sangat menawan. Kami melihat banyak orang datang membeli makanan untuk dibawa pulang ke hotel. Kami penasaran apa saja yang biasanya dibeli oleh orang-orang di sana, kami lalu ikut mengantri.
[caption id="attachment_393191" align="aligncenter" width="300" caption="Pasar di perkampungan rumah-rumah lanting"]
[caption id="attachment_393192" align="aligncenter" width="300" caption="Sekolah di perkampungan rumah lanting"]
Ketika tiba giliran kami, kami pun mulai memilih makanan yang kami inginkan. Di situ ada mie goreng berwarna jingga, ada ikan seluang, sup ayam, sup daging dan banyak lagi. Penulis memilih mie goreng dan ikan seluang untuk dibawa ke hotel. Setelah membeli makanan yang kami inginkan, kami pun kembali ke hotel. Kami tidak mengambil jalan saat kami datang, namun kami mencari jalan lain. Kami pun menemukan beberapa penganan khas lain yang dijajakan di warung yang lain. Teman penulis yang memang suka sekali mencoba makanan-makanan khas tentu saja membelinya. Akhirnya kami menemukan jalan kembali ke hotel yang tentu saja lebih jauh karena harus memutar. Sesampai di hotel kami mandi kemudian sarapan sambil menunggu jemputan yang akan membawa kami melihat rumah Betang. Ikan seluang yang penulis beli ternyata enak dan renyah. Sudah dapat dipastikan keesokan harinya kami akan kembali lagi ke warung itu untuk membeli ikan seluang dan merasakan masakan-masakan lain yang ditawarkan.
[caption id="attachment_393193" align="aligncenter" width="300" caption="Aneka makanan"]
[caption id="attachment_393194" align="aligncenter" width="300" caption="Menu sarapan"]
Sekitar jam sembilan pagi kami dijemput oleh dua orang mahasiswa teman kami. Mereka akan mengantarkan kami melihat rumah Betang. Kami menuju Desa Buntoi di Kecamatan Kahayan Hilir. Jalanan yang kami lalui cukup bagus, namun di kiri-kanan jalan jarang sekali ada tumbuhan tinggi. Penulis membayangkan kami akan melalui jalanan yang teduh karena banyak pepohonan tinggi dan hijau di kiri-kanan jalan seperti di Brunei, namun penulis harus kecewa karena penulis tidak menemukan pemandangan seperti itu.
Di kiri-kanan jalan kami melihat tanah kosong nan kering. Biarpun saat itu cuacanya agak mendung, namun kesan panas yang penulis rasakan. Mendekati Buntoi, kami melewati beberapa rumah penduduk. Kalau di Jawa di sepanjang jalan, kami banyak menyaksikan masjid, di sana kami justru banyak sekali melihat gereja. Setelah hampir satu jam lebih perjalanan, akhirnya kami sampai di Buntoi.
Kami memarkir mobil di depan sebuah warung yang ada di depan sungai Kahayan. Rupanya kami harus berjalan sekitar seratus meter untuk sampai ke rumah Betang yang dimaksud. Saat kami tiba di depan rumah yang dimaksud kami melihat ada dua buah rumah-rumahan kecil di depan rumah. Rupanya rumah-rumahan tersebut disebut Sandung yang gunanya untuk menyimpan tulang belulang nenek moyang penganut kepercayaan Kaharingan. Menarik sekali dan tidak ada kesan mengerikan sama sekali, berbeda dengan kuburan-kuburan penganut agama-agama lain yang kesannya mengerikan bagi penulis.
[caption id="attachment_393195" align="aligncenter" width="300" caption="Sandung di Buntoi"]
Ketika memasuki halaman rumah, di kiri-kanan kami berdiri rumah yang sudah relatif modern. Namun, kami tidak menemukan siapa-siapa. Kami berusaha mencari perhatian para penghuni rumah agar mereka keluar, namun tak satu pun yang keluar. Kami melihat ada seseorang keluar mengendarai motornya dan sedikit pun tidak menolehkan kepalanya ke arah kami. Bingung juga kami dibuatnya. Kami ingin melihat rumah Betang yang ada di hadapan kami tetapi tentunya kami harus minta izin dahulu sebelum kami menaiki anak tangga yang indah dan terbuat dari kayu di depan kami. Setelah sepuluh menit bingung, akhirnya kami putuskan untuk naik saja ke atas, kalau ada yang menegur ya kami akan minta maaf karena telah lancang memasuki rumah tanpa izin.
[caption id="attachment_393205" align="aligncenter" width="300" caption="Rumah Betang di Buntoi"]