Mohon tunggu...
Gabriel Sujayanto
Gabriel Sujayanto Mohon Tunggu... Penulis - penulis

blogger penulisan efektif (djantobronto.wordpress.com), editor, freelancer, penyuka fotografi.

Selanjutnya

Tutup

Money

Hantu Krisis & Pengusaha Manja

23 September 2015   07:40 Diperbarui: 23 September 2015   08:37 253
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Paket kebijakan ekonomi yang dikeluarkan pemerintah beberapa waktu lalu dinilai oleh sebagian pengusaha dan ekonom belum memadai. Pasalnya, kebijakan berupa perbaikan regulasi dan peraturan dianggap kurang bermanfaat bagi dunia usaha.

Menurut pengamat dari Lembaga Penelitian Ekonomi & Masyarakat (LPEM) UI Teguh Dartanto, kebijakan pemerintah belum membawa dampak nyata bagi publik. "Ini kan baru sekedar (perbaikan) peraturan dan dampaknya belum dirasakan oleh masyakarat," ujar Kepala Kajian Kemiskinan & Perlindungan Sosial LPEM UI Teguh Dartanto kepada ANTARA pekan lalu.

Selain Teguh Dartanto, ekonom INDEF Fadhil Hasan menilai paket kebijakan pemerintah kurang mendengarkan masukan dari kalangan pengusaha. "Kalau istilahnya orang muda, kurang nendang. Karena masih normatif," kata Fadhil dalam sebuah talkshow di Jakarta, minggu lalu.

Fadhil menjelaskan bahwa para pengusaha telah  mengusulkan deregulasi lengkap dalam bentuk matriks. "Tapi jika saya lihat apa yang diusulkan dengan apa yang dikeluarkan (kebijakan pemerintah) masih ada kesenjangan besar," katanya.

Alasannya, karena pengusaha yang paling terkena dampak  pelemahan nilai tukar rupiah. Biaya produksi melonjak & para pekerja (konon)  terancam PHK masal. Faktor lain yang membuat kalangan usaha ragu adalah soal kinerja birokrasi. "Apa kita percaya birokrasi bisa menyelesaikan (perubahan regulasi) dalam waktu cepat? Saya kok termasuk yang kurang percaya. kalau tidak ada tekanan atau leadership, birokrasi sulit berubah," ucap Fadhil.

Menariknya, Guru Besar Fakultas Ekonomi UI, Prof. DR Rhenald Kasali punya pendapat berbeda soal lesunya kondisi ekonomi ini. Rhenald masih ingat bahwa tak lama setelah krisis di Amerika Serikat tahun 2008, juga beredar beragam kabar tentang ancaman krisis di Indonesia. Katanya,“Saya masih simpan data bahwa saat itu banyak pengamat yang menakut-nakuti, seakan kiamat sudah dekat, ancaman PHK, kerugian, dan seterusnya.”

Diberitakan konsumsi listrik di Pulau Jawa di awal 2009 sudah anjlok 28 persen. Tak cukup dengan analisa ekonom dan pengamat, bahkan peramal terkenal Mama Lauren (almarhum) itu pun diminta prediksinya. Hasilnya mengerikan. Ia meramal akan ada banyak orang kena PHK dan ribuan perusahaan bangkrut. Kondisi sulit ini akan berjalan dua tahun. Ramalan ini tentu membuat mayoritas pengusaha & pemerintah gelisah.

Ditambah  lagi, ada cukup banyak berita tentang eksekutif  perusahaan besar yang dipecat, lantas bunuh diri. Begitulah kita ‘dicengkeram’ berita tentang sulitnya kondisi saat itu. Nyatanya? Kalangan usaha dan pemerintah Indonesia bisa melewati tahun 2008 hingga 2009 dengan relatif baik.

Kini di saat kita memiliki pemerintahan baru yang mendapat kepercayaan dari mayoritas rakyat, ‘hantu krisis’ itu nongol lagi untuk menakut-nakuti kita. Kok polanya agak mirip dengan film-film hantu Indonesia yang sering muncul saat memasuki liburan? Mungkin masih ada pihak yang kurang senang jika negeri kita lebih maju & kehidupan warganya (khususnya kelompok menengah ke bawah) membaik.

Mari kita tengok sejenak, berapa banyak istilah krisis sudah menghantui kita. Misalnya krisis bawang & cabai menjelang Lebaran, krisis daging sapi, krisis BBM hingga krisis asap. Silakan perpanjang sendiri daftar krisisnya, jika dirasa kurang..

Dulu kita pernah dengar krisis akibat flu burung. Lalu saat menjelang musim tanam padi, terjadilah krisis pupuk. Ada juga kabar, gara-gara dolar naik, banyak pengusaha roti gulung tikar karena tak mampu beli tepung yang harganya mahal. Franky Welirang, produsen tepung Bogasari, pun bingung ‘diserang’ hujan pertanyaan wartawan dari beragam media. ”Di mana yang bangkrut?” tanyanya. Ia heran karena sejak tahun 2012 hingga 2015 belum ada kenaikan harga tepung, meski nilai dolar naik.

Kini kondisi serupa terulang lagi, dolar AS menguat. Pemicunya karena melemahnya nilai mata uang kita terhadap dolar AS. Kalau pada akhir pemerintahan SBY-Budiono nilainya masih Rp12.500-an per dolar AS, kini di era Jokowi sudah menembus Rp14.000. Padahal tahun 2009 nilainya cuma Rp 9.100.

Lalu, ada yang membangunkan ”hantu” dengan mengaitkan krisis kali ini dengan krisis tahun 1997. Kebetulan pemicunya sama, yakni melemahnya nilai Rupiah terhadap Dolar AS. Bank Indonesia pun kerepotan menjelaskan apa bedanya antara kedua era itu. Saya setuju krisis 1997 memang dahsyat. Rezim Soeharto tumbang, 16 bank rontok, sejumlah konglomerat gulung tikar & lebih dari 60 ribu orang mendadak jadi penganggur karena PHK.

Mengerikan? Ya iyalah. Krisis itu menakutkan. Selain gelombang PHK dan naiknya kriminalitas disejumlah kota, kita juga menyaksikan berita tentang ibu-ibu yang rebutan beras di supermarket. Mengerikan jika kita melihat krisis hanya dari sisi gelapnya. Sekarang cobalah lihat sisi terangnya. Krisis yang menyapu Indonesia dan Asia Tenggara di 1997 juga memicu bangkitnya jiwa wirausaha & daya kreatif kita. Jutaan usaha kecil dan menengah baru bermunculan. dan sekali lagi Indonesia mampu bangkit dari krisis.

Lantas, bagaimana kondisi Indonesia saat ini? Tengoklah data Bank Indonesia (BI) yang membandingkan kondisi makroekonomi kali ini dengan tahun 1997. Bisa jadi data itu beredar karena desakan para pengusaha yang gelisah. Kondisi kita saat ini sangat berbeda dengan era 1998. Misalnya, tahun 2015 ini perekonomian kita masih tumbuh sekitar 4,9%, sementara pada 1998 ekonomi kita minus 13,13%.

Lalu, cadangan devisa 2015 sebesar USD 107,6 miliar, sementara pada 1998 hanya USD 23 miliar. Inflasi saat ini sekitar 4%, berbanding 77,63% (1998). Rasio utang kita terhadap PDB hanya sekitar 33% (2015) berbanding 120% (1998). Jika merujuk data BI tersebut, kondisi makroekonomi kita saat ini jauh lebih baik ketimbang tahun 1998. Nah bagaimana potensi ekonominya?

Kekuatan ekonomi kita beberapa tahun ni adalah komoditas. Nah begitu harga komoditas anjlok, yang tersisa dari masyarakat adalah daya konsumsinya. Lihat saja pertumbuhan ekonomi di Kalimantan dan Sumatera yang rendah karena tumbangnya sektor komoditas. Tapi konsumsi? Coba tengok hasil studi The Nielsen tentang World Consumer Confidence Index di Asia.

Ternyata kita berada di peringkat ketiga dunia dan masih sangat tinggi. Skornya 120. Memang turun 3 poin, tapi jauh di atas Malaysia yang mulai pesimistis (skornya di bawah 100, yakni 89). Demikian juga Korea Selatan yang mata uang lokalnya tak banyak terpengaruh dolar, skornya amat pesimis (45). Artinya kelas menengah kita masih doyan belanja.

Tak heran bila dalam pameran automotif di Jakarta awal September lalu, dikabarkan total belanja mobil selama 10 hari di pameran mencapai lebih dari Rp 5 triliun. Jadi sebetulnya kita tak perlu takut secara berlebihan. Namun selalu saja ada pihak yang gemar mendramatisasi kondisi saat ini.

Rhenald Kasali juga ragu dengan bayang-bayang PHK yang dilontarkan segelintir ekonom dan pengusaha. “PHK itu terjadi karena melemahnya rupiah, atau akibat tata kelola perusahaan yang kurang beres, atau faktor lain?” Katanya. Belum lama ini Rhenald mendapat kabar dari perkumpulan nelayan di suatu daerah. Mereka bercerita tentang mulai terjadinya pengurangan waktu melaut sampai PHK.

Apa penyebabnya? Rupanya bukan karena melemahnya nilai Rupiah terhadap dolar AS, tetapi karena aturan dari Kementerian Kelautan dan Perikanan yang melarang kapal berbobot 30 gross ton (GT) untuk menangkap ikan memakai jaring cantrang dan beroperasi di wilayah 12 mil laut. Untuk nelayan (yang sangat jarang punya kapal berbobot 30 GT) silakan melaut kapanpun.

Rhenald juga menyatakan bahwa setiap beberapa tahun, krisis pasti terjadi. Setiap orang/bangsa bisa memberi makna yang berbeda soal krisis. Tapi, di sini, kita menganggapnya sebagai bahaya besar/kekacauan. Padahal saat krisis juga ada peluang. Tahukah bahwa Indonesia perlu krisis?  Makin besar ancaman krisisnya, makin besar peluang kita untuk menjadi bangsa hebat.

Begini sederhananya. Kalau perjalanan kita sebagai sebuah bangsa mulus dan enak, itu pertanda bahwa kita sedang ‘terlena’ atau bergerak menurun. Sebaliknya saat beban kita terasa berat, itu pertanda bahwa kita sedang mendaki. Lagipula kalau tak terasa berat, para menteri dan pemerintah akan cenderung lamban. Berikut petikan kisah dari buku yang ditulis Rhenald Kasali, yang berjudul Agility: Bukan Singa yang Mengembik.

Anda pasti ingat dengan bencana tsunami yang melanda Aceh pada tahun 2004. Aceh lumpuh. Semua akses ke sana terputus. Hanya satu yang tersisa, yakni Bandara Sultan Iskandar Muda. Bandara itu jadi penting karena akses bantuan hanya bisa lewat sana. Tanpa bantuan, ratusan ribu rakyat Aceh bakal sengsara.

Masalahnya, semua fasilitas komunikasi dibandara rusak. Tak bisa digunakan. Selain itu, bandara Aceh hanya sanggup melayani 6-8 penerbangan perhari. Area parkir pesawat dan gudang sangat terbatas. Sementara itu, pasca tsunami, ada ratusan pesawat yang mendarat tiap hari.

Pesawat- pesawat itu mengangkut berton-ton bantuan berupa makanan, pakaian hingga obat. Jadi, bandara harus beroperasi jauh di atas kapasitasnya. Krisis, itulah yang terjadi di Aceh, dan terbukti dengan jumlah kru terbatas, pengelola bandara Aceh bisa melayani ratusan pesawat yang hilir mudik. Tsunami menempa kru bandara Aceh  menjadi tim yang agile. Lincah, ulet, tidak gampang menyerah, dan dalam kondisi darurat mampu mengurus diri sendiri. Kita tentu ingin bangsa kita menjadi bangsa yang punya agility tinggi. Bukan bangsa yang cengeng dan manja. Padahal rupiah kita hanya melemah Rp1.500-an terhadap dolar AS.

Jangan sampai melemahnya rupiah kali ini membuat kita lupa  pengalaman berharga tahun 1998, yakni krisis yang melahirkan ratusan ribu hingga jutaan UKM. Negara yang tangguh adalah negara yang 80% perekonomiannya ditopang oleh pengusaha-pengusaha skala UKM, bukan pebisnis skala konglomerat.

Senada dengan Rhenald Khasali, Ketua Asosiasi Kewirausahaan Sosial Indonesia, (AKSI) Bambang Ismawan menyatakan bahwa kita perlu optimis menghadapi kondisi saat ini. Yang penting, selain memperbaiki aturan dan regulasi yang ada, pemerintah harus membangun usaha mikro dan kecil yang ulet.
"Pemerintah harus mempercepat pengembangan usaha mikro yang mencapai 2,89 juta orang dan 531 ribu unit usaha kecil, agar usaha kerakyatan ini menjadi menopang perekenomian bangsa ini," ujarnya kepada penulis.

Ia menjelaskan, saat ini, kemandirian pengusaha mikro dalam mengembangkan usahanya masih kurang, karena keterbatasan akses modal usaha, manajemen yang kurang baik dan pemasaran. "Jika Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) 2015 diberlakukan, usaha mikro ini sulit bersaing dan dikhwatirkan mereka akan bangkrut," ujarnya.

Berdasarkan data BPS 2013, jumlah tenaga kerja usaha mikro mencapai 5.408.857 orang dan usaha kecil sebanyak 4.325.254 orang. Bambang menyatakan bahwa untuk menggali potensi masyarakat, perlu dilakukan pengembangan kelembagaan yang mandiri & manusiawi. Yaitu prinsip pendekatan yang menghargai martabat orang miskin, serta mendorong keterlibatan pengusaha kecil dalam proses pengembangan diri.

Nah, kini pilihan berpulang ke diri kita masing-masing. Apakah kita memilih bersandara pada rasa takut & selalu menunggu untuk selalu disuapi oleh pemerintah? Atau kita memilih untuk menempa diri, belajar & bertumbuh bersama krisis, yang belum pasti seburuk yang digembar-gemborkan oleh segelintir ekonon dan pengamat itu. @@@

Foto: harianterbit.com

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun