Mohon tunggu...
Gabriel Sujayanto
Gabriel Sujayanto Mohon Tunggu... Penulis - penulis

blogger penulisan efektif (djantobronto.wordpress.com), editor, freelancer, penyuka fotografi.

Selanjutnya

Tutup

Money

Hantu Krisis & Pengusaha Manja

23 September 2015   07:40 Diperbarui: 23 September 2015   08:37 253
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kini kondisi serupa terulang lagi, dolar AS menguat. Pemicunya karena melemahnya nilai mata uang kita terhadap dolar AS. Kalau pada akhir pemerintahan SBY-Budiono nilainya masih Rp12.500-an per dolar AS, kini di era Jokowi sudah menembus Rp14.000. Padahal tahun 2009 nilainya cuma Rp 9.100.

Lalu, ada yang membangunkan ”hantu” dengan mengaitkan krisis kali ini dengan krisis tahun 1997. Kebetulan pemicunya sama, yakni melemahnya nilai Rupiah terhadap Dolar AS. Bank Indonesia pun kerepotan menjelaskan apa bedanya antara kedua era itu. Saya setuju krisis 1997 memang dahsyat. Rezim Soeharto tumbang, 16 bank rontok, sejumlah konglomerat gulung tikar & lebih dari 60 ribu orang mendadak jadi penganggur karena PHK.

Mengerikan? Ya iyalah. Krisis itu menakutkan. Selain gelombang PHK dan naiknya kriminalitas disejumlah kota, kita juga menyaksikan berita tentang ibu-ibu yang rebutan beras di supermarket. Mengerikan jika kita melihat krisis hanya dari sisi gelapnya. Sekarang cobalah lihat sisi terangnya. Krisis yang menyapu Indonesia dan Asia Tenggara di 1997 juga memicu bangkitnya jiwa wirausaha & daya kreatif kita. Jutaan usaha kecil dan menengah baru bermunculan. dan sekali lagi Indonesia mampu bangkit dari krisis.

Lantas, bagaimana kondisi Indonesia saat ini? Tengoklah data Bank Indonesia (BI) yang membandingkan kondisi makroekonomi kali ini dengan tahun 1997. Bisa jadi data itu beredar karena desakan para pengusaha yang gelisah. Kondisi kita saat ini sangat berbeda dengan era 1998. Misalnya, tahun 2015 ini perekonomian kita masih tumbuh sekitar 4,9%, sementara pada 1998 ekonomi kita minus 13,13%.

Lalu, cadangan devisa 2015 sebesar USD 107,6 miliar, sementara pada 1998 hanya USD 23 miliar. Inflasi saat ini sekitar 4%, berbanding 77,63% (1998). Rasio utang kita terhadap PDB hanya sekitar 33% (2015) berbanding 120% (1998). Jika merujuk data BI tersebut, kondisi makroekonomi kita saat ini jauh lebih baik ketimbang tahun 1998. Nah bagaimana potensi ekonominya?

Kekuatan ekonomi kita beberapa tahun ni adalah komoditas. Nah begitu harga komoditas anjlok, yang tersisa dari masyarakat adalah daya konsumsinya. Lihat saja pertumbuhan ekonomi di Kalimantan dan Sumatera yang rendah karena tumbangnya sektor komoditas. Tapi konsumsi? Coba tengok hasil studi The Nielsen tentang World Consumer Confidence Index di Asia.

Ternyata kita berada di peringkat ketiga dunia dan masih sangat tinggi. Skornya 120. Memang turun 3 poin, tapi jauh di atas Malaysia yang mulai pesimistis (skornya di bawah 100, yakni 89). Demikian juga Korea Selatan yang mata uang lokalnya tak banyak terpengaruh dolar, skornya amat pesimis (45). Artinya kelas menengah kita masih doyan belanja.

Tak heran bila dalam pameran automotif di Jakarta awal September lalu, dikabarkan total belanja mobil selama 10 hari di pameran mencapai lebih dari Rp 5 triliun. Jadi sebetulnya kita tak perlu takut secara berlebihan. Namun selalu saja ada pihak yang gemar mendramatisasi kondisi saat ini.

Rhenald Kasali juga ragu dengan bayang-bayang PHK yang dilontarkan segelintir ekonom dan pengusaha. “PHK itu terjadi karena melemahnya rupiah, atau akibat tata kelola perusahaan yang kurang beres, atau faktor lain?” Katanya. Belum lama ini Rhenald mendapat kabar dari perkumpulan nelayan di suatu daerah. Mereka bercerita tentang mulai terjadinya pengurangan waktu melaut sampai PHK.

Apa penyebabnya? Rupanya bukan karena melemahnya nilai Rupiah terhadap dolar AS, tetapi karena aturan dari Kementerian Kelautan dan Perikanan yang melarang kapal berbobot 30 gross ton (GT) untuk menangkap ikan memakai jaring cantrang dan beroperasi di wilayah 12 mil laut. Untuk nelayan (yang sangat jarang punya kapal berbobot 30 GT) silakan melaut kapanpun.

Rhenald juga menyatakan bahwa setiap beberapa tahun, krisis pasti terjadi. Setiap orang/bangsa bisa memberi makna yang berbeda soal krisis. Tapi, di sini, kita menganggapnya sebagai bahaya besar/kekacauan. Padahal saat krisis juga ada peluang. Tahukah bahwa Indonesia perlu krisis?  Makin besar ancaman krisisnya, makin besar peluang kita untuk menjadi bangsa hebat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun