Pada suatu malam yang indah, sepasang pengantin baru berjalan bergandengan tangan dengan mesra. Hingga akhirnya, mereka berhenti untuk beristirahat di sebuah taman. Sedang asyik-asyiknya menikmati romansa, mereka mendengar suara dari kejauhan.
"Kwek... Kwek... Kwek...."
"Dengar," seru si istri. "Itu pasti suara ayam."
"Bukan, itu suara bebek," sanggah suaminya.
"Tidak, aku yakin itu adalah suara ayam," balas si istri tidak mau kalah.
"Suara ayam itu kukuruyuk, sayang. Bebek itu kwek kwek!" imbuh si suami dengan nada tinggi. Ia terlihat sudah mulai jengkel.
"Kwek... Kwek... Kwek!" terdengar lagi
"Nah, itu kan. Suara bebek," yakin si suami.
"Sayang..." Kali ini si istri juga sudah mulai kehilangan kesabaran. "Itu suara ayam!" pekiknya tajam, seraya menghentakkan kakinya.
 "Eh, dengar ya. I-ITU adalah Bebek. BEBEK. BEBEK. Tahu!?" teriak si suami. Ia tidak bisa lagi menahan emosinya.
"Tetapi itu ayam," teriak si istri tidak mau kalah. Kali ini ia sudah berdiri berkacak pinggang, siap menantang.
Melihat sikap istrinya yang sudah kelewatan, si suami pun jadi beringas. "Kalau aku bilang bebek maka itu adalah bebek!" teriaknya keras, sehingga membuat istrinya terkejut hingga terduduk kembali.
"Kuek... Kuek... Kuek...." Terdengar lagi.
"Itu bebek...." tangis istrinya semakin menjadi-jadi.
Pada saat itu, si suami pun sadar. Ia melihat ke mata istrinya yang sudah basah oleh genangan air mata. Akhirnya ia pun luluh. Teringat betapa ia begitu mencintai si istri. Lalu, wajahnya berubah lembut dan ia berkata dengan mesra, "Maafkan aku sayang, aku rasa kamu benar. Itu suara ayam."
"Terima kasih, sayang," kata si istri sambil mengusap air matanya. Ia balas menggenggam tangan suaminya dengan mesra.
Sebagai pembaca, tentu saja kita akan menggerutu. Siapa sih yang peduli ayam atau bebek? Bukankah yang paling penting adalah keharmonisan. Mengapa kebahagiaan harus ternodai oleh perbedaan, bukankah lebih indah jika setiap orang memahami persepsi dengan caranya sendiri?
Dan, jika pertengkaran sudah terjadi, penyesalan kemudian datang belakangan. Itu pun setelah salah satu atau bahkan kedua pihak yang dirugikan.
Tapi, marilah jujur dengan diri kita sendiri. Renungkanlah, seberapa sering kita mengalami hal sama seperti ilustrasi di atas. Mungkin tidak persis tentang ayam atau bebek. Tapi, hal lain yang mirip. Dan, itu bisa apa saja. Dari masalah uang hingga cinta, atau masalah sepele seperti selera makan.
Apa Penyebabnya? Ego, teman-teman.
Ego manusialah yang membuat setiap orang merasa lebih superior dari yang lainnya. Kita dengan mudah menilai jika orang lain memiliki ego yang besar. Hal tersebut sangatlah mengganggu. Mereka harus diredam, tidak bisa dibiarkan berkembang, sehingga kebenaran harus ditegakkan.
Tidak ada yang salah dengan itu. Tapi, jujurlah, seberapa sering kita melihat ke dalam diri kita masing-masing. Seberapa besar ego yang sebenarnya kita miliki? Pernahkah kita melihat ke dalam mata kita sendiri, dan mengakui bahwa sumber masalah sebenarnya berasal dari sana?
Bukan hanya ego. Tapi, juga kekotoran-kekotoran batin lainnya yang membuat kita tidak bisa berbahagia. Yang menimbulkan kesedihan. Seperti, galau, sedih, khwatir, takut, dan bermacam-macam lainnya.
Oleh sebab itu, kali ini saya akan mengajak kita semua untuk melihat melalui mata kita sendiri. Amati apa yang saat ini anda rasakan melalui tatapan mata yang anda lihat melalui cermin, sadari apa yang anda pikirkan, kemudian kenali apa yang sedang anda pikirkan dan apa yang anda inginkan melalui sinar mata anda.
Ini adalah cara latihan yang paling mudah untuk melihat jendela hati dan pikiran kita sendiri. Ketika kita sedang tidak nyaman mata kita tentu berbeda dengan kondisi ketika kita sedang bahagia.
Ada latihan terpenting dalam hal melihat kedalam diri. Ini salah satunya: Di pagi hari saat kita bangun tidur, melangkahlah ke cermin. Lihatlah mata kita dan lakukan senyuman terindah untuk diri kita sendiri, ajak diri kita untuk membuka Jendala Hati dan Pikiran kita.
Lalu, berbicaralah kepada diri sendiri, saya bersyukur diberi kesempatan kehidupan hari ini, katakan saya merasa bahagia (walaupun kita belum bahagia tapi pura-pura lah bahagia). Dengan pura-pura Bahagia maka kita sudah mengambil satu langkah maju untuk menuju Bahagia. Itu karena kebahagiaan dapat kita raih ketika kita berkeinginan untuk mewujudkannya, mau mempraktikannya, dan mau mensyukurinya.
Setelah kita mampu melatih kesadaran, apakah  langkah  kita selanjutnya, Jagalah hati dan pikiran kita tetap agar selalu baik, sehingga kita bisa mengeluarkan diri yang sesungguhnya menjadi diri yang terbaik versi diri kita masing-masing.
Dan, percayalah, hati yang berbahagia bisa memberikan kebahagiaan bagi pasangan dan juga untuk orang lain. Benarkah?
**
Jakarta, 6 November 2023
Penulis: Yuliana, Kompasianer Mettasik
Entreprenueur | Dharmaduta | Author
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H