"Tetapi itu ayam," teriak si istri tidak mau kalah. Kali ini ia sudah berdiri berkacak pinggang, siap menantang.
Melihat sikap istrinya yang sudah kelewatan, si suami pun jadi beringas. "Kalau aku bilang bebek maka itu adalah bebek!" teriaknya keras, sehingga membuat istrinya terkejut hingga terduduk kembali.
"Kuek... Kuek... Kuek...." Terdengar lagi.
"Itu bebek...." tangis istrinya semakin menjadi-jadi.
Pada saat itu, si suami pun sadar. Ia melihat ke mata istrinya yang sudah basah oleh genangan air mata. Akhirnya ia pun luluh. Teringat betapa ia begitu mencintai si istri. Lalu, wajahnya berubah lembut dan ia berkata dengan mesra, "Maafkan aku sayang, aku rasa kamu benar. Itu suara ayam."
"Terima kasih, sayang," kata si istri sambil mengusap air matanya. Ia balas menggenggam tangan suaminya dengan mesra.
Sebagai pembaca, tentu saja kita akan menggerutu. Siapa sih yang peduli ayam atau bebek? Bukankah yang paling penting adalah keharmonisan. Mengapa kebahagiaan harus ternodai oleh perbedaan, bukankah lebih indah jika setiap orang memahami persepsi dengan caranya sendiri?
Dan, jika pertengkaran sudah terjadi, penyesalan kemudian datang belakangan. Itu pun setelah salah satu atau bahkan kedua pihak yang dirugikan.
Tapi, marilah jujur dengan diri kita sendiri. Renungkanlah, seberapa sering kita mengalami hal sama seperti ilustrasi di atas. Mungkin tidak persis tentang ayam atau bebek. Tapi, hal lain yang mirip. Dan, itu bisa apa saja. Dari masalah uang hingga cinta, atau masalah sepele seperti selera makan.
Apa Penyebabnya? Ego, teman-teman.
Ego manusialah yang membuat setiap orang merasa lebih superior dari yang lainnya. Kita dengan mudah menilai jika orang lain memiliki ego yang besar. Hal tersebut sangatlah mengganggu. Mereka harus diredam, tidak bisa dibiarkan berkembang, sehingga kebenaran harus ditegakkan.