Mohon tunggu...
Kompasianer METTASIK
Kompasianer METTASIK Mohon Tunggu... Lainnya - Menulis itu Asyik, Berbagi Kebahagiaan dengan Cara Unik

Metta, Karuna, Mudita, Upekkha

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Telur atau Ayam Lebih Dahulu?

26 September 2023   05:55 Diperbarui: 26 September 2023   05:56 223
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Telur atau Ayam Lebih Dahulu (gambar: thespruce.com, diolah pribadi)

Pertanyaan "Telur atau ayam lebih dahulu?" sering menjadi perdebatan. Ujung-ujungnya tidak ada kesepakatan mana yang lebih dahulu.

Jika "telur lalu ayam", muncul pertanyaan: "Dari mana telur itu ada?". Karena harus ada ayam yang bertelur baru ada telur.

Sebaliknya, jika "ayam lalu telur", timbul pertanyaan: "Dari mana ayam itu ada?". Kalau tidak mungkin ada ayam kalau tidak ada telur, karena ayam muncul setelah telur ditetaskan.

Mana yang benar?. Mana yang salah?

Keduanya benar, juga keduanya salah.

Baik benar atau salah, hanyalah persepsi, tergantung dari sudut pandang. Karena kalau dilihat dari sudut pandang telur lalu ayam, maka ayam lalu telur adalah salah. Demikian sebaliknya, keduanya tidak bisa hadir bersamaan.

Persepsi

Jika ditarik mundur, andaikata ada seseorang tidak pernah kenal apa itu ayam, apa itu telur, atau pada zaman saat belum ada telur dan ayam, atau seseorang yang lahir tidak pernah kenal apa itu unggas, tidak kenal apa itu ayam dan telur, tidak juga tau kalau ayam itu bertelur, maka tidak ada yang benar, tidak ada yang salah, tidak juga keduanya.

Karena ia tidak memiliki persepsi apapun terhadap ayam lalu telur ataupun telur lalu ayam, bukan juga keduanya, karena tidak ada telur, tidak ada ayam.

Baik yang berpendapat telur lalu ayam atau ayam lalu telur, masing-masing menciptakan persepi berdasarkan apa yang pernah ia kenali, apa yang pernah ia pelajari, apa yang ia yakini.

**

Ketika seseorang ditingal pergi oleh orang yang ia cintai, misalkan ibunya. Ia bersedih, kadang sangat bersedih, bahkan bertahun-tahun lamanya.

Seseorang yang lewat melihat ada rumah yang sedang ramai, karena ada yang meninggal. Ia melewati daerah itu untuk pertama kalinya, tidak kenal orang-orang yang datang, tidak tau tempat itu apa namanya, ia sama sekali tidak ada rasa sedih. Sama sekali!. Bahkan mencari tahu siapa yang meninggal juga tidak.

Orang semacam ini banyak sekali, sangat banyak. Karena mereka semua tidak ada hubungannya dengan orang yang meninggal, kenalpun tidak. Ia tidak memiliki persepsi apapun pada orang yang meninggal itu. Tidak ada ikatan apapun terhadap dirinya, dia bukan-apa-apa bagi "aku".

Sama halnya jika sesorang baru saja membeli telpon genggam, saat sayang-sayangnya, tanpa sengaja terjatuh. Rusak, sama sekali tidak dapat diperbaiki, rasanya kesal, kecewa, marah, sedih bercapur aduk.

Yang sedih atau sedikit sedih adalah orang yang terkait dengan pemilik telpon gengam itu. Seperti ia yang menganggap memilik telpon itu ada adalah keluarga "aku", ia adalah sahabat baik "aku" dan tentunya yang paling bersedih adalah karena telpon genggam itu adalah "aku".

Bagi mereka yang tidak memiki pesepsi apapun pada pemiliki telpon genggam itu, tidak ada rasa kecewa atau sedih. Mungkin bagi penjual telpon genggam akan senang, karena ada kesempatan menjual yang baru.

Kisah Munculnya "Aku"

Apapun yang terjadi, baik ditinggal orang yang dikasihi, barang yang rusak, musihah atau sesuatu yang dianggap baik, misalkan mendapat hadiah, mendapat juara, menikah, bagi seseorang yang tidak ada kaitannya, bukanlah hal yang penting, tidak ada arti sama sekali. Semua menjadi penting, menjadi sangat berarti karena adanya "aku" yang terkait dengan semua itu. Karena adanya "aku", maka aku bahagia, aku menderita.

Apakah mungkin menghapus persepsi "aku", dalam arti tidak ada yang disebut ini milikku, ini diriku, ini aku?. Sangat mungkin.

Pemilik telpon genggam bersedih karena telpon barunya rusak. Tetapi jika sedetik saja sebelum serah terima telpon, telpon itu terjatuh lalu rusak, ia tidak akan bersedih. Padahal telpon yang sama.

Begitu ia terima, ia menciptakan persepsi telpon ini milik "aku". Aku ada di dalam telpon gengam ini, telpon gengam itu ada di dalam diriku, aku adalah telpon itu, telpon itu adalah aku, telpon itu milikku, aku senang punya telpon. Sehingga kalau telpon masih bagus, aku senang, jika rusak, aku juga sakit.

Ketika ada "aku", maka muncullah gejolak "ini milikku, ini diriku, ini aku".

"Aku" adalah sebuah anggapan (persepsi) yang  ada penyebabnya. Apapun yang muncul karena suatu sebab, sewajarnya akan lenyap (yam kinci samudaya dhammam sabbam tam nirodha dhammam).

Anicca-Dukkha-Anatta

"Aku" menjadi jelas jika dilihat dari gejolaknya (ini milikku, ini diriku, ini aku). Jika persepsi yang benar dibangun, dengan anggapan tidak ada yang dapat dianggap sebagai "milikku, diriku, aku", maka secara perlahan anggapan "aku" juga akan terkikis.

Karena apapun yang muncul karena suatu sebab, pasti akan lenyap (Anicca). Segala sesuatu yang muncul dan lenyap ini, tidak dapat dianggap sebagai milikku, diriku, aku.

Jika dianggap demikian, maka ujung-ujungnya akan mengarah pada ketidak-puasan, penderitaan (Dukkha). Menjadi penderitaan karena jika sesuatu yang dianggap baik, akan lenyap, kelenyapannya tidak dapat dicegah, sebaliknya jika hal itu adalah buruk, kemunculannya juga tidak dapat dicegah.

Demikian juga segala yang tidak kekal ini, tidak memuaskan, tidak bisa diperintahkan untuk berhenti, tidak bisa diperintahkan untuk tidak lenyap, tidak dapat dianggap milikku, diriku, aku (Anatta).

**

Dengan memahami bahwa tidak ada satupun yang dapat dianggap sebagai milikku, diriku, aku (Anatta), maka anggapan tentang adanya "aku" menjadi perlahan pudar dan akhirnya lenyap.

Ketika tidak ada "aku", maka tidak ada aku bahagia, tidak ada aku menderita. Karena tidak ada aku.

Sumber bacaan: Mulapariyaya Sutta, Anattalakkhaa Sutta

**

Jakarta, 26 September 2023
Penulis: Jayanto Chua, Kompasianer Mettasik

Programmer | Penulis Buku | Praktisi Meditasi

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun