Mohon tunggu...
Kompasianer METTASIK
Kompasianer METTASIK Mohon Tunggu... Lainnya - Menulis itu Asyik, Berbagi Kebahagiaan dengan Cara Unik

Metta, Karuna, Mudita, Upekkha

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kebodohan yang Dilanjutkan

11 September 2023   05:55 Diperbarui: 11 September 2023   06:01 390
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kata Bodoh menjadi sebuah kata yang mendengarnya merasa tidak nyaman, membuat telinga merah, dan mempunyai arti yang cenderung negatif Ketika disematkan pada seseorang. 

Bahkan Ketika dulu kecil dan seorang anak tidak mampu mengerjakan PR (Pekerjaan Rumah) orang tua menganggap anaknya Bodoh. Namun seiring berjalannya waktu Ketika anak tersebut mampu mengerjakan yang tadinya tidak bisa hingga menjadi bisa, maka penyematan bodoh tidak lagi ada pada dirinya.

Pada kesempatan ini coba kita merenung dan jujur pada diri sendiri, ketika diri sendiri pernah melakukan sesuatu namun gagal, melakukan sesuatu namun salah, dan kita tahu itu adalah sebuah kesalahan sehingga diri sendiri melabel diri ini bodoh sampai masuk ke alam bawah sadar dan memberi dampak yang tidak singkat. 

Bahkan penulis pernah mendengar cerita ketika seseorang menganggap dirinya bodoh, maka ia benar-benar meyakini bahwa ia benar-benar bodoh, padahal kenyataaannya tidak demikian.

Perspektif bodoh dari sudut pandang yang berbeda bisa menjadi berubah maknanya tatkala kita mengubah cara berpikir dan memaknai kebodohan tersebut. Bukankah kita bisa mengetahui kebenaran kalau kita menyadari kebodohan kita.

Penulis teringat pesan bijak dari Guru Buddha yakni bila orang bodoh dapat menyadari kebodohannya, maka ia dapat dikatakan bijaksana, tetapi orang bodoh yang menganggap dirinya bijaksana, sesungguhnya dialah yang disebut orang bodoh.

Pernahkan anda mendengar peribahasa "Keledai saja tak jatuh di lubang yang sama sampai dua kali". artinya, sebodoh-bodohnya manusia, ia tak akan mengulang kesalahan sebelumnya.

Makna tersebut bisa menjadi motivasi bahwa kita diharapkan tidak mengulang kesalahan yang sama. Hal ini benar-benar terjadi pada saat penulis ingin sekali menikmati kopi pada pagi dan siang hari. 

Memang bagi orang-orang yang memiliki lambung yang sehat, meminum kopi adalah hal yang normal, wajar, bahkan baik untuk kesehatan. Namun bagi Sebagian orang yang mempunyai kondisi lambung yang sangat sensitif, minum kopi akan menjadi masalah. Uniknya adalah keinginan minum kopi mengalahkan bahaya pada kesehatan lambung diri ini.

Bahkan tidak jarang penulis membuat kopi namun hanya diminum sedikit saja karena lambung sudah bermasalah. Apakah pembaca ada yang seperti penulis? Sudah tahu kalau minum kopi bermasalah, namun masih saja dilakukan. 

Sebenarnya kalau saja mampu menahan hawa nafsu untuk tidak minum kopi, maka lambung ini aka naman-aman saja. Namun apalah daya pikiran yang dipenuhi oleh "Keinginan" menjadi tuan pada saat itu.

Bahkan penulis mengamati semua gara-gara keinginan yang tidak terkendali menjadi penderitaan yang tidak sedikit. Penulis sangat setuju bahwa penyebab penderitaan adalah nafsu keinginan yang tidak terkendali bahkan menjadi kemelekatan.

Suatu hari seorang guru menyampaikan ilustrasi mengenai pola-pola kesadaran melalui cerita kopi juga yang sangat menginspirasi, beliau bercerita kalau anda punya keinginan untuk minum kopi, itu wajar, anda mau menikmatinya, itu juga wajar. Namun Ketika tidak kopi untuk anda nikmati, jangan kecewa, jangan marah, jangan mengeluh. 

Bila anda kecewa, marah, mengeluh dan memaksa harus ada kopi, itu tandanya anda melekat, dan itu tandanya anda menderita, sebaliknya bila anda minum kopi dengan kesadaran, tidak ada kemelekatan, hanya minum kopi, maka aktivitas minum kopi itu tidak harus menjadi penderitaan.

Penulis mengingatkan hati-hati dengan kemelekatan pada apapun, baik materi yang kita miliki, kedudukan yang saat ini ditempati, penghormatan yang orang lain berikan, keluarga yang rasa anda miliki, bahkan diri ini yang anda rasa miliki yang sesungguhnya diri ini hanyalah perpaduan dari unsur-unsur kehidupan. Bilamana suatu hari berubah dan anda melekat, bersiaplah untuk menderita.

Lalu bagaimana agar tidak menderita? Terimalah kenyataaan, terimalah perubahan, kembangkan kesadaran, kurangi kemelekatan, terus belajar mengenai kebenaran, itulah cara-cara agar kita tidak melanjutkan kebodohan yang sama.

Bukankah lingkaran samsara ini kita sendiri yang membuatnya?bahkan karena kebodohanlah kita terus berputar pada kelahiran dan kematian. Mari kira kurangi keserakahan, kebencian dan kebodohan batin.

Semoga ini menjadi renungan kita semua. Semoga semua mahluk berbahagia.  

**

Jakarta, 11 September 2023
Penulis: Suhendri, Kompasianer Mettasik

Dharmaduta | Pengajar

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun