Hai semuanya, apa kabar?
Bagaimana perjuangan anda dalam melaksanakan Dhamma dalam keseharian? Berkurangkah penderitaan?
Kalau bingung jawabnya, tidak apa. Sama saya juga kesulitan menjawab dengan spontan pertanyaan seperti ini. Butuh rekoleksi, evaluasi dan introspeksi beberapa saat untuk bisa sekedar memberikan kesan atau rangkuman alih-alih sebuah jawaban.
Sebagian mungkin malah kesal, koq nuduh sih? Darimana tahu saya menderita? Belum tahu ya kemarin saya baru naik pangkat sehingga gaji naik berlipat-lipat? Belum tahu ya saya baru pulang pelesir ke luar negeri gratis karena dibiayai perusahaan sebagai apresiasi? Belum tahu ya saya baru "ditembak" persis oleh orang yang memang sudah lama saya taksir? Belum tahu ya anak saya baru dapat cucu baru?
Bahkan sesama pembabar dhamma bisa ikut cemas, koq bahas dhamma sedikit-sedikit tentang penderitaan, sedikit-sedikit tentang penderitaan... jumlah umat bisa menciut. Tidakkah berkurang atau lenyapnya penderitaan itu artinya bahagi? Senang? Kenapa tidak itu saja difokuskan. Biar hepi.
Yo ouis.... saya ganti pertanyaannya...
Bagaimana perjuangan anda dalam melaksanakan Dhamma dalam keseharian? Sudah berbahagiakah semuanya di Nibbana?
Ih belagu. Sok suci. Anda sendiri kenapa masih orang? Bhikkhu saja bukan... tanya-tanya orang sudah mencapai Nibbana apa belum.
Ruwet.
Mungkin karena ini Sang Buddha sama sekali tidak berniat membabarkan Dhamma setelah mencapai penerangan sempurna. Bukan karena enggan apalagi benci tapi karena selain memahami setiap mahluk mewarisi kamma-nya masing-masing beliau juga melihat dengan amat jelas penyebab sulitnya manusia memahami Dhamma. Perilaku bisa dilatih tapi kondisi bathin hanya bisa berubah (berubah bukan diubah, jadi harus muncul dalam diri mahluk itu sendiri!) lewat meditasi dan manusia karena terlahir sebagai manusia punya lima penghalang pencerahan bathin.