Lalu, di otak kriminalku timbul ide untuk membalasnya.
"Wah... Kita terlambat nih, penerbangan selanjutnya baru ada jam sebelas tiga puluh, gimana mbak?"
"Sori, mbak yang terlambat, bukannya kesalahan bagian tiketing lho. Tadi di telpon, mba bilang dengan pede-nya penerbangan akan ditunda, nungguin kita. Tadi saya terlanjur terkesan akan kekuasaan instansi mbak yang bisa menunda jadwal penerbangan. Kekuasaannya seperti presiden aja." aku berkata nyerocos.Â
Akhirnya sambil melewati waktu, kami mengambil paket refleksi. Dan, dalam hati mulai muncul ketidak-sukaan terhadapnya. Aku mengambil sikap diam. Itu yang aku lakukan selama perjalanan.
Sesampainya di tujuan, dia nempel terus sama seseorang yang menjemput kami. Aku dan sopirnya benar-benar dianggap nyamuk. si sopir lebih banya diam, sesekali melihat ke belakang lewat spion. Sementara aku, sepanjang perjalanan hanya terduduk diam bergeming.
Perjalanan cukup melelahkan karena kami sudah terlambat sekitar lima jam, padahal harus meninjau lokasi untuk pesiapan keesokan harinya.
Lalu, hatiku sedikit terhibut melihat keindahan Ngarai Sianok. Tanpa sadar aku berseru: "Wow ... cantik sekali, mau donk foto di situ."
"Ga keburu mbak, perjalanan masih jauh." sambar si pongah
Si sopir melemparkan pandangan tak berdaya, sambil berkata "Kalau hanya berfoto saja, saya rasa bisa."
"Sudahlah mas, ga penting. Kalau jodoh ambil foto di situ pasti ada jalannya." jawabku cuek.
Keesokan harinya saat para bos datang, aku bercerita tentang keindahan Ngarai Sianok dan memberanikan diri untuk meminta agar kita bisa mampir ke sana untuk berfoto ria.