Mohon tunggu...
Kompasianer METTASIK
Kompasianer METTASIK Mohon Tunggu... Lainnya - Menulis itu Asyik, Berbagi Kebahagiaan dengan Cara Unik

Metta, Karuna, Mudita, Upekkha

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Kisah Relief Borobudur: Bodhisattva Bertemu Harimau Betina

10 Juli 2023   05:55 Diperbarui: 10 Juli 2023   07:11 420
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
02-Bodhisattva-mempelajari-Dharma (photdharma.net)

Dua puluh tahun lalu, saat film "Kera Sakti" sedang populer sekali di layar televisi Indonesia, saya ingat bahwa ada adegan Buddha Ru Lai (Tathagata) pernah merelakan dagingnya untuk dimakan oleh seekor elang yang kelaparan. Adegan itu menggambarkan bagaimana Buddha berwelas asih kepada semua makhluk dan rela mengorbankan dirinya sendiri demi kesejahteraan para makhluk. Kisah itu cukup berkesan meski saya tidak pernah menemukannya di dalam teks Kanon Buddhis.

Tetapi saya menemukan kisah yang mirip di dalam Relief Candi Borobudur, tepatnya di lantai 1 bagian langkan sebelah atas. Kisah ini berasal dari kitab Jatakamala, sebuah kitab yang ditulis oleh penyair bernama Aryasura, yang kemudian menjadi salah satu referensi dalam pemahatan relief Candi Borobudur.

01-Upacara-kelahiran-Bodhisattva (photodharma.net)
01-Upacara-kelahiran-Bodhisattva (photodharma.net)

Dikisahkan pada masa lampau, Bodhisattva terlahir sebagai seorang putra keluarga Brahmana yang terkenal. Pada saat ia lahir ke dunia, ia mendapatkan berbagai ritual pemberkahan.

02-Bodhisattva-mempelajari-Dharma (photdharma.net)
02-Bodhisattva-mempelajari-Dharma (photdharma.net)

Ketika Sang Bodhisattva beranjak remaja, ia berkesempatan belajar dari guru terkemuka. Berbakat, Sang Bodhisattva dengan cepat mempelajari berbagai pengetahuan dan keterampilan bagi seorang Brahmana.

Tetapi ketika sudah berusia dewasa, Bodhisattva memutuskan untuk tidak hidup berumah tangga dan menyunyikan diri di hutan, menjadi seorang pertapa. Di sana ia berlatih diri dan menerima murid, mengajarkan pemurnian panca indra, kesadaran penuh, dan pengembangan cinta kasih (maitri bhavana).

Pada suatu hari, ketika Bodhisattva sedang mengajar di sebuah gua yang berada di atas bukit, ia melihat ke bawah dan menemukan seekor harimau betina yang nampak kurus kering dan lemah. Harimau betina itu terlihat hampir mati kelaparan, dan juga terdapat anak-anaknya (anak-anak harimau) yang berusaha mendekati induknya. Karena kelaparan dan kelelahan, harimau betina itu terlihat hendak menyantap anak-anaknya sendiri.

Melihat pemandangan itu, Bodhisattva berseru:

Lihatlah, betapa tidak berartinya kehidupan ini!
Hewan ini berusaha untuk memakan anak-anaknya sendiri.
Rasa kelaparan telah membuatnya tidak mampu memahami cinta kasih.
Betapa kejamnya rasa mementingkan diri-sendiri yang buas,
hingga seorang ibu hendak memakan anak-anaknya sendiri!

(Jatakamala 1 syair 18 & 19)

Bodhisattva kemudian memerintahkan muridnya yang bernama Ajita untuk segera bergegas mencarikan makanan yang dapat ia lemparkan ke arah harimau betina itu, sehingga sang harimau tidak perlu memakan anak-anaknya sendiri. Ajita segera pergi dengan terburu-buru, tetapi tidak kembali dalam waktu yang lama. Bodhisattva melihat bahwa tidak lama lagi anak-anak harimau itu akan tewas disantap induknya sendiri. Beliau pun merenung:

Mengapa aku harus mencari daging dari tempat lain,
sementara seluruh tubuhku ini telah tersedia?
Selain daging itu belum tentu ditemukan,
aku juga akan kehilangan kesempatan untuk melaksanakan tugasku.

Tubuh ini tanpa inti, melapuk, dan tidak berarti.
Sumber rasa sakit, tubuh ini tidak tahu bersyukur dan kotor.
Sungguh tidak bijaksana bila tidak bergembira
bila telah menggunakan tubuh ini demi kebaikan makhluk lain.

Orang-orang mengabaikan penderitaan makhluk lain
ketika tidak mampu menolong atau melekat pada kesenangannya sendiri.
Tetapi aku tidak bisa bergembira sementara yang lain menderita.
Jika aku memiliki kemampuan untuk membantu, mengapa aku harus bersikap acuh?

Dan jika, sementara bisa membantu, tetapi aku bersikap tidak peduli
bahkan kepada penjahat yang sedang tenggelam dalam kesedihan sekalipun,
pikiranku akan merasakan penyesalan atas perbuatan yang jahat itu,
terbakar seperti semak belukar yang terjebak dalam api besar.

Dengan menjatuhkan tubuhku ke jurang ini,
aku akan menggunakan tubuhku yang tidak bernyawa
untuk melindungi harimau betina itu dari membunuh anak-anaknya
dan menolong mereka agar tidak mati dalam gigi ibu mereka."

(Jatakamala 1 syair 21-25)

Maka, Bodhisattva pun memutuskan untuk melompat dari atas tebing, agar dagingnya bisa dimakan oleh harimau betina itu.

03-Bodhisattva-mengorbankan-diri (gambar: photodharma.net)
03-Bodhisattva-mengorbankan-diri (gambar: photodharma.net)

Ajita, yang kembali dengan tangan kosong, mencari-cari gurunya tetapi tidak menemukannya. Ia pun melihat ke bawah dan menemukan bahwa harimau betina itu sedang menyantap daging dari jasad manusia yang tak lain adalah gurunya sendiri, Melihat kejadian itu, hatinya begitu tersentuh. Ia memanggil murid-murid yang lainnya, memberi tahu kejadian yang telah terjadi, dan melakukan penghormatan untuk gurunya yang telah meninggal.

Ajita pun merasa kagum dengan gurunya dan menyerukan syair berikut ini:

Lembut dalam kemurahan hati dan kukuh bagai bumi,
betapa ia tidak tahan dengan penderitaan makhluk lain!
Dan betapa pikiranku yang kasar ini,
Kontras dengan tindak keberaniannya yang luar biasa!" 

(Jatakamala 1 syair 36)

Para dewa, gandarwa, naga, dan yaksa yang menyaksikan kejadian ini pun tak kalah tersentuh. Mereka kemudian menaburkan bunga dan cendana ke tanah tempat tulang-belulang sang Bodhisattva sebagai bentuk penghormatan.

Welas Asih dan Pengorbanan Diri

Kisah ini menggambarkan betapa welas asih Bodhisasttva, hingga ia rela mengorbankan dirinya untuk menyelamatkan makhluk lain, meski makhluk berwujud binatang sekalipun. Welas asih atau karuna merupakan salah satu sikap batin yang diunggulkan dalam Buddhisme, berupa rasa ingin meringankan penderitaan orang lain. Welas asih dapat kita praktikkan dalam kehidupan sehari-hari dengan cara menghibur orang yang bersedih, memberi bantuan materi kepada yang membutuhkan, atau memberi perlindungan pada orang yang ketakutan.

Welas asih dapat kita renungi dengan mengulang-ulang kalimat berikut dalam hati: "semoga semua makhluk bebas dari penderitaan."

Tidak Melekati Hidup

Kisah ini juga menggambarkan bagaimana Bodhisattva tidak melekati hidup dengan segala kenikmatannya. Meski terlahir dalam keluarga Brahmana yang terhormat, tetapi ia tidak terlena di dalamnya. Ia justru memilih kehidupan sebagai pertapa dan hidup sederhana di dalam hutan. Pun ketika menyaksikan harimau betina hendak memakan anak-anaknya, ia juga merenungkan bahwa kehidupan ini tidak bermakna bila tidak dapat dimanfaatkan untuk kepentingan makhluk lain. Dengan demikian, ia mengorbankan dirinya.

Jangan Salah Paham

Ketika kisah ini saya sampaikan kepada seorang sahabat, ia merasa keheranan, "Bukankah ini namanya bunuh diri?", tanyanya.

Sekilas memang terlihat seperti itu, tetapi kita bisa memaknai kisah ini dari kacamata lain. Pertama, tentu saja kisah ini tidak dimaksudkan agar kita melakukan tindakan bunuh diri. Sebagai perumah tangga, jika saya melakukannya, tentu saya akan membuat sedih ibu dan anggota keluarga yang lainnya. Bodhisattva melakukan ini karena ia sudah memutuskan untuk tidak hidup berumah tangga, dan dengan demikian ia tidak lagi memiliki sanak saudara untuk ditanggung.

04-Para-murid-menghormati-Bodhisattva (gambar: photodharma.net)
04-Para-murid-menghormati-Bodhisattva (gambar: photodharma.net)

Kedua, esensi dari kisah ini bukanlah mengorbankan nyawa, tetapi mengorbankan kepentingan diri kita untuk kepentingan makhluk lain, yang dilambangkan dengan Bodhisattva merelakan tubuhnya disantap oleh harimau. Kita bisa menganggap kisah ini hanyalah simbolis, dan mempraktikannya dengan bentuk lain, seperti:

  • Ketika duduk di bus atau kereta, kita memberikan tempat duduk kita untuk ditempati oleh manula atau ibu hamil.
  • Ketika kita memiliki makanan dan melihat ada yang kelaparan, kita membagikan sebagian agar bisa disantap oleh orang yang kelaparan itu.
  • Ketika kita mendapatkan rezeki berupa materi, kitab isa menyisihkan sebagian untuk diberikan kepada yang membutuhkan.

Jangan ditelan mentah-mentah harus mengorbankan nyawa... sebab kita (atau setidaknya, saya) adalah manusia biasa, belum Bodhisattva.

Demikian cerita dari salah satu bagian relief Candi Borobudur ini agar bisa menjadi salah satu perenungan bagi kita. Ambil yang baiknya saja.

Referensi:

**

Jakarta, 10 Juli 2023
Penulis: Gavin Goei, Kompasianer Mettasik

Psikolog | Akademisi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun