Ajita pun merasa kagum dengan gurunya dan menyerukan syair berikut ini:
Lembut dalam kemurahan hati dan kukuh bagai bumi,
betapa ia tidak tahan dengan penderitaan makhluk lain!
Dan betapa pikiranku yang kasar ini,
Kontras dengan tindak keberaniannya yang luar biasa!"Â(Jatakamala 1 syair 36)
Para dewa, gandarwa, naga, dan yaksa yang menyaksikan kejadian ini pun tak kalah tersentuh. Mereka kemudian menaburkan bunga dan cendana ke tanah tempat tulang-belulang sang Bodhisattva sebagai bentuk penghormatan.
Welas Asih dan Pengorbanan Diri
Kisah ini menggambarkan betapa welas asih Bodhisasttva, hingga ia rela mengorbankan dirinya untuk menyelamatkan makhluk lain, meski makhluk berwujud binatang sekalipun. Welas asih atau karuna merupakan salah satu sikap batin yang diunggulkan dalam Buddhisme, berupa rasa ingin meringankan penderitaan orang lain. Welas asih dapat kita praktikkan dalam kehidupan sehari-hari dengan cara menghibur orang yang bersedih, memberi bantuan materi kepada yang membutuhkan, atau memberi perlindungan pada orang yang ketakutan.
Welas asih dapat kita renungi dengan mengulang-ulang kalimat berikut dalam hati: "semoga semua makhluk bebas dari penderitaan."
Tidak Melekati Hidup
Kisah ini juga menggambarkan bagaimana Bodhisattva tidak melekati hidup dengan segala kenikmatannya. Meski terlahir dalam keluarga Brahmana yang terhormat, tetapi ia tidak terlena di dalamnya. Ia justru memilih kehidupan sebagai pertapa dan hidup sederhana di dalam hutan. Pun ketika menyaksikan harimau betina hendak memakan anak-anaknya, ia juga merenungkan bahwa kehidupan ini tidak bermakna bila tidak dapat dimanfaatkan untuk kepentingan makhluk lain. Dengan demikian, ia mengorbankan dirinya.
Jangan Salah Paham
Ketika kisah ini saya sampaikan kepada seorang sahabat, ia merasa keheranan, "Bukankah ini namanya bunuh diri?", tanyanya.