Pernah kukatakan pada diriku, apa harta yang paling berharga yang kumiliki dan merupakan satu-satunya yang kumiliki. Ia kunamakan 'ketulusan'. 'Sepertinya', aku baru merasa 'tenang' jika aku memilki sepenuhnya 'rasa' itu.
Karena kata itu pula, aku memulai 'perjalananku'. Aku merasa banyak sekali 'sekat' yang menutupi hatiku dari sebuah kejujuran dan ketulusan murni. Kala aku telah menjadi sebuah 'ketulusan' yang murni, 'tanpa ketakutan dan khawatir', aku akan mengakhiri 'perjalananku'. Wah, mungkinkah 'perjalanan' itu berakhir?
Aku merasa itulah jati diriku yang sesungguhnya. Suara itulah yang terus memanggilku untuk melakukan 'perjalananku' ke dalam diri. Suara yang terlahir oleh 'rasa sakitku' dari dalam. Ya, dari dalam. Rasa sakit yang sesungguhnya berasal dari diri sendiri.
Perjalanan batin ke dalam diri tidaklah seindah perjalanan di antara pepohonan cemara dengan burung kutilang bernyanyi, haha. Seperti lagu anak-anak ya...
Sejuknya embun dan wanginya dedaunan cemara awalnya terasa jauh di ujung sana. Terdorong oleh gerak liuk semesta, menghantarku pada sebuah 'keberanian tanpa pilihan'. Yang artinya, aku tak dapat memilih lagi selain menjalaninya.
Bola salju bergelinding sejak aku dilahirkan. Tak ada salah benar dalam sebuah proses pembentukan 'diri' ku. Jika kukatakan seperti ini, tak banyak orang-orang yang mengerti.
Aku bersyukur saat ini 'mulai' dapat melihat kumparan tali persepsi diri ini mengurai. Aku bersyukur mengenal dhamma tentang 'anatta' sehingga aku dapat belajar memahami semua bukanlah diriku. Pemahaman dan pengalaman langsung akan kebenaran ini, sangat penting. Meski pengalaman ini akan sangat menyakitkan untuk egoku. Â Â
Aku tidak bisa lagi menjadi lebih dari diriku. Kalimat itu menjadi kunci perjalananku saat ini. Aku sedang berproses ke arah sana. Aku kini menyadari. Kesalahanku di masa lampau ada pada kaca mata persepsiku yang bergulir sejak aku kecil.
Dhamma yang sangat dalam tentang anicca-dukkha-anatta menyeberangkanku dari kegelisahan batin ke sebuah fakta yang sesungguhnya. Sebuah kebenaran bahwa segala sesuatu yang berada di luar sesungguhnya netral. Sebuah kebenaran bahwa segala sesuatu tidaklah perlu dilekati. Sebuah kebenaran bahwa 'aku' hanyalah 'kesemuan rasa' dari pikiran, perasaan dan persepsi.
Pemahamanku masih sangat dangkal namun perjalanan ini mulai mengarahkanku untuk berhenti menyalahkan dunia luar. Berhenti menyalahkan 'diriku'. Pada suatu titik, aku hanya ingin membaca buku batinku. Perlahan, mulai tampak simpul-simpul yang mengikat pada kumparan taliku. Kala kulihat, iapun terurai.
Melalui rasa dan suara batinku, mengalir kata-kata dalam bentuk puisi. Pernah kukatakan dhamma yang sesungguhnya ada di dalam buku batin kita. Apapun yang terlihat oleh kita, adalah cermin batin kita sendiri.
Sesungguhnya, kita hidup hanya dengan diri kita sendiri. Yang artinya, segala yang tertampak dan terasa sesungguhnya netral apa adanya. Menjadi berubah maknanya dikarenakan persepsi dan segala sesuatu yang ada di dalam diri kita. Namun itupun bukan diri kita.
Kedamaian dan ketenangan batin hanya dapat diraih melalui proses ke dalam diri. Kuncinya ada di dalam. Kesalahan dan rasa derita yang diakibatkannya dapat menjadi pemantik yang kuat dalam menjalani proses tersebut. Hingga kini, aku mulai merasa. Tak ada jalan lain selain menjejakkan kaki di saat ini. Aku harus lalui berbagai rasa yang ada di 'saat ini'.
Di awal, aku merasa aku tak boleh mementingkan diriku. Berjalannya waktu, aku mulai mencari berbagai cara untuk memenuhi kebahagiaan 'diri'. Namun kini, aku mulai mengerti. Bukan itu yang kucari.Â
Aku masih berproses. Biarkan aku melanjutkan kembali perjalananku, berbekal pengalaman dari proses perjalanan yang telah terlewati.
Jemariku terus bergerak
Membuka jahitan di baju orangeku
Karet pinggang baju ini sudah terlalu kecil
Satu persatu benang kugunting
Ada kedamaian di sana
Ada ketenangan di sana
Sedikit pegal dan nyeri terasa di tengkuk dan pinggangku
Kuangkat kepalaku dan kuregangkan pinggangku
Usia tubuh menjelang setengah abad
Tak ada yang aneh
Kutatap lubang-lubang kecil bekas jahitan
Perlukah kututupi lubang-lubang itu?
Rasanya tidak....
Sempurna bukan karena sempurna
Sempurna karena tidak sempurna
Tak semua hal bisa dimengerti oleh orang lain
Terima kasih dan permintaan maafku pada dunia
Berlatih dengan tulus
Tingkatkan kesadaran dalam keseharian
Lampaui rasa takut
'Ada' sepenuhnya di saat ini
Puisi hanya sebuah puisi
Kala aku 'lupa', kubuka kembali sebagai pengingatku
**
Jakarta, 04 Juli 2023
Penulis: W Rny, Kompasianer Mettasik
Penulis | Shaksi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H