Mohon tunggu...
Kompasianer METTASIK
Kompasianer METTASIK Mohon Tunggu... Lainnya - Menulis itu Asyik, Berbagi Kebahagiaan dengan Cara Unik

Metta, Karuna, Mudita, Upekkha

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Perumpamaan Anak Panah dalam Buddhisme

19 April 2023   05:55 Diperbarui: 19 April 2023   05:51 932
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar diolah pribadi

Ada bahaya yang disebabkan oleh anak panah yang dimuntahkan dari busur dan melesat menuju sasaran. Bagi siapapun yang terpanah maka akan mengalami kesakitan yang teramat sangat.

Itulah bahaya dari anak panah yang mata ujungnya runcing, tajam, dan melesat dengan cepat. Pun apabila ditembakkan di malam hari atau tanpa kita sadari.

Berangkat dari perumpamaan anak panah yang sering ditemukan dalam teks kitab suci umat Buddha, anak panah menggambarkan bahaya yang dialami bagi seseorang yang terpanah.

Seperti halnya penderitaan fisik akibat terpanah seperti luka, berdarah, menembus kulit dan daging, hingga rasa demam akibat darah yang keluar terus menerus.

Itulah kesakitan pada jasmani yang terpanah yang menggambarkan kelapukan, usia tua, terbebani, menderita jasmani, sering sakit, dan membungkuk.

Syahdan, apabila batin ikut menderita akibat kesakitan dan beban jasmani maka seseorang dikatakan terkena anak panah yang kedua, yang membawa penderitaan bagi batin.

Perumpamaan anak panah merupakan hal yang patut kita ketahui bahwasanya ada dua anak panah di dunia.

Anak panah pertama yang mengenai sasaran membawa penderitaan fisik. Sedangkan anak panah kedua atau susulan merupakan penderitaan bagi batin.

Apakah jika kita terkena anak panah pertama, kita harus mengalami anak panah kedua?

Untuk menjawab pertanyaan tersebut, ada baiknya kita bahas tentang tiga jenis perasaan dalam pengertian Buddha Dhamma.

Ketiga perasaan tersebut adalah perasaan menyenangkan, perasaan menyakitkan, dan bukan keduanya yang kadang diartikan sebagai netral atau seimbang.

Perasaan yang menyenangkan, yang dicari dan didambakan oleh setiap orang dalam pandangan Dhamma disebut sebagai dukkha. Bersebab perasaan menyenangkan yang muncul dan lenyap serta bergantung pada kondisi adalah sulit dipertahankan dan tidak memuaskan.

Perasaan menyakitkan yang tidak disukai, yang dijauhi, dan dihindari disebut sebagai anak panah, yang sudah pasti menyakitkan jika seseorang terpanah.

Sedangkan perasaan yang bukan menyenangkan dan bukan menyakitkan harus dilihat sebagai perasaan yang tidak kekal. Bersebab perasaan demikian akan berubah dan masih bergantung pada sifat kemunculan dan kelenyapannya.

Sekarang, kita kembali pada anak panah sebagai perasaan yang menyakitkan. Jika anak panah tertancap pada jasmani maka kesakitan pada jasmani akan timbul.

Dan umumnya mereka yang belum terlatih dan tidak terpelajar dalam Dhamma menganggap jasmani sebagai diri, atau diri memiliki jasmani, atau jasmani ada di dalam diri, atau diri dalam jasmani.

Mereka dikuasai oleh pemikiran bahwa;

"Saya adalah jasmani, jasmani adalah milik saya."

Dengan demikian ketika jasmaninya mengalami perubahan, maka muncul perasaan yang menyakitkan dan segala macam bentuk penderitaan seperti dukacita, tangis dan ratap yang amat sedih, kesakitan, ketidaksenangan, dan keputusasaan.

Begitu pula apa yang dianggap diri pada perasaan, persepsi, bentuk-bentuk kehendak, dan kesadaran.

Itulah yang dinamakan terpanah oleh anak panah kedua yaitu perasaan menyakitkan yang didera dan menetap di batin. Itupun dikenal sebagai batin yang tidak berkembang bagi seseorang yang membiarkan perasaan menyakitkan menyerbu dan menetap di pikiran.

Untuk itulah pentingnya memahami lima gugusan pembentuk manusia yang tunduk pada penderitaan.

Perubahan dan perasaan sakit pada jasmani, perasaan, persepsi, bentuk-bentuk kehendak, dan kesadaran, semuanya tidak harus menetap di batin. Bersebab kelima gugusan bukan saya, bukan milik saya, dan tanpa diri.

Semua manusia, bahkan semua makhluk pasti terpanah sekali. Dan anak panah kedua akan menyusul jika kita membiarkannya mengenai kita, dalam arti membiarkan perasaan batin ikut menderita.

Bagaimana? Apakah kita ingin merasakan anak panah kedua setelah terpanah anak panah pertama?

Yuk, jangan sampai terpanah dua kali yang bisa membawa pada kelahiran kembali. Di mana kelahiran akan menimbulkan segala macam penderitaan.

Lantas, mengapa tidak jadikan anak panah pertama sebagai untuk memunculkan pengetahuan atas Empat Kebenaran Mulia sebelum terpanah kedua kalinya?

**

California, 19 April 2023
Penulis: Willi Andy, Kompasianer Mettasik.

Hidup dengan Penuh Cinta dan Kasih

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun