Sebentar lagi, tepatnya pada tanggal 31 Maret, batas waktu Surat Pemberitahuan Tahunan (atau SPT) akan memasuki masa tenggat waktu. Artinya, sebelum tanggal yang sudah ditetapkan tersebut, seluruh Wajib Pajak perorangan harus menyertakan laporan perhitungan dan pembayaran pajak kepada negara.
Nah, apakah sebagai umat Buddha, kita sudah siap? Atau jangan-jangan masih ada yang belum membuat laporan SPT? Atau lebih parah lagi, sengaja mengisi laporan dengan tidak benar. Nah, melalui artikel ini saya ingin mengajak pembaca untuk menilik pandangan Buddhis terhadap pembayaran pajak.
Dalam Dasa Kusala Kamma atau Sepuluh Perbuatan Baik yang disampaikan oleh Guru Agung Buddha; Berdana atau bermurah hati berada pada urutan pertama. Sila atau berperilaku baik pada urutan kedua. Sedangkan Bhavana, mengembangkan batin pada urutan ketiga. Demikian seterusnya.
Hyang Buddha menganjurkan agar seseorang tidak melupakan tempat kelahirannya, tempat ia dibesarkan, dan juga tempat ia memperoleh keberhasilan.
"Seorang Bodhisattva akan selalu ingat untuk membalas empat Budi Besar, yaitu: Budi Orang Tua dan Guru, Negara , Bangsa, serta Triratna.(Mahayana Mulajata-hrdayabhumi-dhyana Sutra, Katalog nanjio,955).
Perlu dipahami, pajak adalah iuran kepada negara oleh wajib pajak. Hal ini berdasarkan undang-undang yang sudah tertera. Sedangkan fungsi pajak adalah untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran umum sehubungan dengan tugas untuk menyelenggarakan pemerintahan dan kesejahteraan rakyat.
Dasar hukum Perpajakan terdapat pada pasal 23 ayat 2: "Segala Pajak untuk keperluan Negara berdasarkan Undang-undang."
Pemerintah memungut pajak untuk kesejahteraan rakyatnya sendiri, sebab tujuan negara adalah untuk membuat masyarakat makmur dan sejahtera.
Sebagai Umat Buddha kita patut bersyukur hidup di NKRI yang berlandaskan Pancasila dan kebebasan memeluk agama dan dijamin oleh UUD 1945. Kita sebagai umat Buddha dapat melaksanakan Pujabhakti setiap saat tanpa rasa takut atau diancam oleh siapa pun juga. Karena kondisi negara aman, tertib dan sejahtera.
Terciptanya kondisi aman, tertib, dan sejahtera, terjamin karena rakyat tidak termotivasi untuk berbuat hal-hal di jalur kebenaran. Hidup dengan bercukupan, adil, dan sejahtera. Hal ini senada dengan sabda Hyang Buddha, bahwa: "Suatu Negara/Kerajaan akan aman, tenteram, bebas dari kejahatan jika negara/kerajaan dapat menjamin kebutuhan hidup rakyatnya".