Dalam Pustaka Suci dan Pengulas, tidak sedikit dikisahkan perumah tangga yang mencapai tingkatan kesucian. Meskipun saat ini sulit mengetahui siapa saja yang sudah mencapai tingkatan kesucian, bukan berarti tidak ada.
Bisa dibayangkan, semisal seseorang yang telah tiba pada arahattaphala sebelum meninggal. Bersebab tidak mengetahui hal tersebut, setelah dirinya meninggal, kita mengungkapkan pengharapan semoga dia lahir di alam bahagia. Bukankah ini sebuah paradoks?
Lantas bagaimanakah ungkapan atau harapan yang lebih netral, yang sesuai dengan cara pandang Dhamma? Kalau dipikir-pikir, kita terbiasa mengembangkan pengharapan semoga semua makhluk berbahagia.Â
Ini adalah wujud cinta kasih yang memang sepatutnya dikembangkan. Berbahagia di sini tidak hanya sebatas terlahir di alam bahagia, tetapi juga termasuk tercapainya Kebahagiaan Tertinggi, yakni Nibbana.
Dilandasi oleh pemikiran tersebut, mengucapkan harapan semoga mendiang berbahagia, tanpa embel-embel terlahir di alam mana pun, adalah satu pilihan yang lebih sederhana.Â
Sejauh ini, tidak bertentangan dengan apa yang disabdakan oleh Sang Guru. Meskipun demikian, setiap pribadi memiliki pertimbangan kebijaksanaan masing-masing dalam menyampaikan pengharapan yang semestinya tulus dari hati, dibentuk oleh pemikiran yang bersumber dari cara pandang personal.
**
Jakarta, 04 Maret 2023
Penulis: Bhikkhu A.S.K. Thitasaddho, Kompasianer Mettasik
Praktisi Dhammavinaya
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H