Akhirnya saya terkapar. Saya tidak bisa berjalan secara normal. Tidak banyak yang bisa dilakukan kecuali berbaring di tempat tidur dengan hanya menyadari rasa sakit yang ada.
Semuanya berawal ketika suatu sore, setelah hujan mereda dan masih menyisakan gerimis. Saya terpeleset dan pergelangan kaki tertekuk dengan tiba-tiba. Semuanya terjadi dengan tiba-tiba, hanya dalam hitungan detik saja.
Saya mencoba kembali ke kamar. Saya masih bisa berjalan pelan-pelan. Perlahan-lahan pergelangan kaki mulai membengkak, sakit. Saya tidak bisa melangkah lagi. Bahkan untuk urusan pribadi ke kamar mandi, saya harus melompat-lompat dengan satu kaki. Untuk saya tidak terpeleset.
Bala bantuan mulai berdatangan. Ada yang mencoba mengurut di sekitar pergelangan kaki. Ada yang menyarankan dikompres dengan air es agar peradangannya tidak melebar. Minum obat anti nyeri supaya tidak terlalu sakit. Ternyata semuanya tidak bisa membantu dengan segera.
Mengapa tidak segera ke dokter, diperiksa. Mungkin ada tulang yang retak. Yang lain menyarankan ke tukang urut agar bisa dibenarkan ototnya. Istilahnya, dikembalikan ke posisi semula. Harus cari tukang urut yang ahli dan paham tentang otot. Tambahnya; terkilir sudah biasa dikalangan mereka yang berolahraga.
Digosok dengan arak saja. Saya menerima kiriman arak, yang memang tertulis tentang manfaatnya untuk mengatasi otot memar, keseleo, terkilir, dan seterusnya.
Begitu banyak saran yang muncul. Saya yakin semuanya mempunyai niat yang baik dan tulus, untuk membantu proses penyembuhan yang saya butuhkan.
**
Beberapa tahun silam, seorang kawan menelpon saya. Dia minta tolong agar saya menemui sepupunya yang sedang dirawat di sebuat rumah sakit. Sepupunya sedang stress berat. Kakinya baru saja diamputasi dan masih dalam perawatan di sana.
Setelah menerima datanya lebih detail, saya akhirnya datang ke rumah sakit. Saya berkenalan dengan sepupunya ---sebut saja namanya Agung.
Agung berkisah tentang penyakitnya. Tanpa disadari, ternyata dia mempunyai kadar gula berlebihan dalam dirinya. Kondisi ini baru diketahui setelah mempunyai luka yang tidak pernah sembuh di jempol kakinya.
Ternyata sudah terlambat. Luka tersebut telah merusak jaringan di sekitar kakinya. Tidak ada jalan lain, kecuali diamputasi. Dia harus merelakan jempol kakinya diamputasi (bukan seluruh bagian kakinya).
Apakah urusannya sudah beres? Ternyata belum selesai. Masih ada tahap berikutnya; memulihkan jaringan pada kaki yang masih bisa diselamatkan. Sebuah proses panjang yang sangat tidak nyaman.
Agung menceritakan prosesnya. Dia dipindahkan ke ruangan lain. Di sana, perawat akan membuka semua penutup lukanya. Menyiramnya dengan cairan. Mengunting jaringan yang rusak. Membersikan jaringan yang mati. Dan menutup kembali lukanya setelah semuanya selesai.
Dia harus melakukan itu setiap hari. Dua kali sehari. Semuanya dilakukan tanpa ada obat penghilang rasa sakit, tanpa bius lokal. "Sakit sekali. Saya sudah tidak tahan. Saya sudah putus asa." Air matanya mengalir.
Saya hanya bisa diam. Terpaku. Membisu. Saya tidak bisa berkata apa-apa. Saya juga baru tahu bagaimana cara merawat luka akibat diabetes. Saya tidak tahu, apa yang harus saya sampaikan. Saya tidak punya saran dan nasihat apa pun.
Saya yakin, semua orang yang akan datang hanya bisa memberikan nasihat yang sama. Bersabar. Anggap saja ini cobaan hidup. Kamma buruk Anda sedang berbuah.
**
Hidup terkadang membawa kita dalam kondisi seperti ini; tidak ada pilihan yang bisa dilakukan.
Saya membayangkan diri saya seperti dalam perjalanan di jalan bebas hambatan. Harapannya bisa lebih lancar sehingga bisa sampai tujuan lebih cepat. Ternyata terjadi kemacetan panjang karena ada kecelakaan atau ada truk yang muatannya tumpah ke jalan. Tidak ada pilihan. Tidak ada gunanya mengeluh dan marah-marah. Hanya bisa bersabar dan sampai bisa melewati titik kemacetan tersebut.
Sambil melakukan sejumlah terapi, saya hanya bisa bersabar menunggu dan menunggu sampai pemulihan terjadi.
Saya merasa beruntung karena sudah terbiasa berlatih meditasi. Saya bisa menenangkan diri sehingga tidak mudah merasa tertekan dengan kondisi yang ada.
Saya menyadari bahwa badan ini, cepat atau lambat, akan menimbulkan rasa tidak nyaman bagi pemiliknya. Usia tua pasti akan membuat fungsi anggota badan dan organ menurun. Kekuatannya akan berkurang.
Saya selalu teringat dengan pesan Buddha kepada seorang perumah tangga bernama Nakulapita; yang mengeluh tentang kondisi fisiknya. Dia sudah jompo dan sakit-sakitan sehingga tidak bisa pergi untuk berbuat baik dan memberi penghormatan.
"Memang demikian, perumah tangga, memang demikian! Tubuhmu menderita, membungkuk, terbebani. Jika siapa pun yang membawa tubuh ini mengaku sehat bahkan selama sesaat, apakah itu kalau bukan dungu? Oleh karena itu, perumah tangga, engkau harus berlatih sebagai berikut: 'Walaupun tubuhku menderita, namun batinku tidak akan menderita.' Demikianlah engkau harus berlatih." --- Nakulapitusutta, SN 22.1 (1)
Memang tidak ada cara yang bisa dilakukan ketika tidak ada pilihan dalam hidup ini. Hanya bisa bersabar. Jika sakit, lakukan perawatan dengan sebaik mungkin sehingga cepat pulih.
Dan yang terpenting dari semuanya adalah belajar menerima dengan lapang dada sehingga pikiran tidak terlalu stress.Â
Referensi: 1. https://suttacentral.net/sn22.1/id/anggara?reference=none&highlight=false
**
Tangerang, 20 Januari 2023
Penulis: Dhana Putra, Kompasianer Mettasik
Dharmaduta | Penulis | Instruktur Meditasi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H