Mohon tunggu...
Kompasianer METTASIK
Kompasianer METTASIK Mohon Tunggu... Lainnya - Menulis itu Asyik, Berbagi Kebahagiaan dengan Cara Unik

Metta, Karuna, Mudita, Upekkha

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Mengubah Keinginan Duniawi Menjadi Kebahagiaan Duniawi

12 Desember 2022   05:49 Diperbarui: 12 Desember 2022   08:13 771
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Megubah Keinginan Duniawi Menjadi Kebahagiaan Duniawi (gambar: dailynews.com, diolah pribadi)

Terlahir sebagai manusia tidaklah mudah. Membutuhkan banyak timbunan kebajikan. Buah dari akumulasi perbuatan bajik yang telah dilakukan dari kehidupan-kehidupan sebelumnya.

Sepatutnya kita mengisi kehidupan ini dengan berbagai kebajikan dan hal-hal positif yang bermanfaat. Bukan menyia-nyiakannya dengan hal-hal negatif yang tidak bermanfaat. Yang terpenting, menggunakan kehidupan ini sebagai kesempatan berharga guna meningkatkan kualitas diri dan batin kita. Agar kebahagiaan yang menjadi idaman dapat diraih.

Sebagai orang yang memilih kehidupan berumah tangga, kita tidak terpisahkan dengan kehidupan duniawi. Dalam interaksi dengan kehidupan duniawi, timbul keinginan duniawi untuk memuaskan nafsu indria. Keinginan duniawi bermunculan satu per satu dan seiring waktu akan terus bertambah dan jumlahnya semakin banyak.

Adalah wajar memiliki keinginan duniawi, yang diharapkan membawa kebahagiaan duniawi dalam kehidupan yang terus berubah ini. Namun, keinginan duniawi dapat berubah menjadi sumber penderitaan jika kita tidak bijak menyikapinya.

Guru Agung Buddha dalam Anguttara Nikaya II. 65 mengatakan, orang yang masih diliputi kehidupan duniawi umumnya mengharapkan empat keinginan duniawi. 

Pertama, memiliki kekayaan yang diperoleh dengan cara yang benar dan pantas.

Tidak dapat dipungkiri kekayaan material menjadi idaman setiap orang. Apalagi dengan makin meningkatnya kebutuhan hidup yang harus dipenuhi.

Kekayaan yang diperoleh hendaknya berasal dari cara yang benar dan pantas; terhindar dari pelanggaran moralitas, sosial, hukum dan kekerasan.

Kekayaan material selayaknya dipakai untuk memenuhi kebutuhan hidup, bukan untuk keinginan hidup yang tiada batasnya. Orang yang mempunyai kekayaan material memiliki banyak kesempatan untuk melakukan banyak kebajikan. Sehingga merupakan sebuah keniscayaan menggunakan kekayaan yang ada untuk berbagai kebajikan demi kebahagiaan diri sendiri, orang sekitar, dan masyarakat luas.

Kekayaan material jangan sampai membuat orang menjadi budak dari kenikmatan indria, dan mengabaikan nilai-nilai Kebenaran Universal (Dhamma) yang berkaitan erat dengan moral spiritual. Tetapi, hendaknya dapat menggunakan dan memanfaatkan kekayaan secara benar; bukan secara salah dan sia-sia.

Kedua, mencapai kedudukan sosial yang tinggi.

Mencapai kedudukan sosial yang tinggi di masyarakat menjadi cita-cita semua orang. Terkadang, sebagian orang tidak segan dan malu melakukan berbagai cara agar kedudukan sosial yang tinggi dapat tercapai. Tujuannya hanya satu, agar dapat dikenal dan dipandang terhormat oleh masyarakat. Sehingga, nama mereka menjadi harum di masyarakat.

Sebenarnya, kita tidak perlu bersusah payah mencari cara untuk mencapai kedudukan sosial yang tinggi. Karena dengan mempraktikkan nilai-nilai kebajikan dalam kehidupan, maka secara otomatis kedudukan sosial, nama harum dan kehormatan akan datang dengan sendirinya. Nama harum orang bajik akan menyebar ke segala arah dan segenap penjuru.

Ketiga, mencapai usia panjang.

Berusia panjang menjadi salah satu idaman semua orang. Agar dapat berusia panjang, setiap orang harus memperhatikan kesehatannya dengan baik. Karena berusia panjang memiliki keterkaitan dengan kesehatan.

Bagi manusia, harta yang paling berharga adalah kesehatan; lebih berharga dari apapun juga. Untuk itu, setiap orang hendaknya berusaha menjaga kondisi tubuhnya agar tetap sehat dan bugar, dengan menerapkan gaya hidup sehat. Antara lain: pola makan bergizi, olahraga sesuai kebutuhan, dan pola tidur yang cukup.  

Tidak hanya jasmaniah saja yang perlu dijaga kesehatannya, tetapi juga kesehatan batiniah. Kesehatan batiniah meliputi kesehatan pikiran dan kesehatan mental. Selalu berpikir positif dan tekun berlatih meditasi merupakan cara untuk memperoleh kesehatan batiniah. Selain tentunya latihan secara terus menerus untuk mengikis kekotoran batin; keserakahan (lobha), kebencian (dosa), dan kebodohan batin (moha); yang ada di dalam diri setiap orang.

Dengan memiliki kesehatan yang baik akan mengkondisikan seseorang berusia panjang, sehingga memiliki lebih banyak kesempatan melakukan banyak kebajikan dalam kehidupannya.    

Terakhir, terlahir kembali di alam bahagia (surga).

Menjadi cita-cita semua orang, dapat terlahir kembali di alam surga setelah meninggal dunia. Alam surga memiliki tingkat kebahagiaan yang lebih tinggi dan usia kehidupan yang lebih panjang dari alam manusia.

Agar dapat terlahir kembali di alam surga dibutuhkan timbunan kebajikan yang tidak sedikit. Bukan hanya dari kehidupan saat ini, tetapi juga dari kehidupan-kehidupan sebelumnya.

Dalam Anguttara Nikaya II. 240, Guru Agung Buddha menerangkan ada empat faktor yang hendaknya dimiliki setiap orang agar keinginan duniawi dapat tercapai. Yaitu: keyakinan (saddha), latihan kemoralan (sila), kemurahan hati atau kedermawanan (caga), dan kebijaksanaan (panna). Selain itu, dibutuhkan pula tekad yang kuat (adhitthana) dalam dirinya.

Dhamma menjadi pedoman moral yang menuntun umat Buddha menuju kebahagiaan. Dhamma menekankan sumber kebahagiaan terletak di dalam diri masing-masing; bukan terletak di luar diri nya.

Karenanya, agar keinginan duniawi dapat diwujudkan menjadi kebahagiaan duniawi, setiap orang seyogianya bertanggungjawab penuh atas perbuatannya sendiri; baik pikiran, ucapan, maupun perilaku nya. Serta berusaha memaksimalkan potensi dan kemampuan yang dimiliki agar kebahagiaan duniawi dapat diraih.

Nilai-nilai moralitas menjadi landasan penting untuk dipraktikkan oleh umat Buddha dalam kehidupannya. Tanpa adanya praktik Dhamma, tidak akan dapat mewujudkan kebahagiaan dalam kehidupan kita.

Untuk itu, kita hendaknya dapat melaksanakan Dhamma dengan mempelajari teori, mempraktikkan dalam kehidupan sehari-hari, dan memperoleh hasil penembusan dari belajar teori dan praktik tersebut.

Dengan melaksanakan Dhamma secara tekun dan konsisten, keinginan duniawi dapat terwujud menjadi kebahagiaan duniawi. Dan Kebahagiaan Sejati (Nibbana) sebagai tujuan akhir akan dapat terealisasi.

Semoga semua makhluk berbahagia. *(mi_dhata)

**

Makassar, 12 Desember 2022
Penulis: Miguel Dharmadjie, Kompasianer Mettasik

Pembicara Publik | Dharmaduta | Penyuluh Informasi Publik (PIP)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun