Salah satu keajaiban hidup ada di dalam genggaman kita: ketika kita bisa mengosongkan seluruh isi pikiran dan memulai apapun dari awal dan baru lagi. Ada yang menyebutnya memasuki alam keheningan, ruang hampa penciptaan, atau Medan Kuantum.
Senin minggu lalu kupraktikkan itu ketika harus mengurus jebakan tawaran tele marketer asuransi dan aktivasi Kartu Kreditku yang ribet karena KK baru ini tidak muncul di dalam sistem aplikasi bank di gadget-ku.
Aplikasi yang tidak berjalan semestinya dan data KK yang tidak sinkron adalah adalah masalah lama yang mbulet bin ribet dan bikin aku malas mengurusnya!
Perasaan bahwa uangku terampas oleh trik telemarketing asuransi, dan lain-lain serta kejanggalan sistem aplikasi perbankan itu membuatku kesal. Tetapi tetap harus kuurus dengan datang ke bank yang antrenya panjang dan lama. Mau mencak-mencak tidak terima ya percuma. Coba kupraktikkan saja menyetel pikiran ke posisi 0:0. ....
Don't Create any story! ... Just be. Just do it!
Dengan menyetel pikiran ke posisi 0-0 itu, dan menyimak musik Kitaro aku menuju bank kantor pusat di Kuta... Sesekali aku melihat langit Bali yang biru. Aku merasa hanya seorang manusia tanpa masa lalu atau masa depan, sedang berada di pulau idaman manusia sedunia, dan di bawah langit biru. ...
Ajaib. Pertama, di parkiran aku dapat slot yang paling diidamkan yang baru saja ditinggalkan nasabah lain. Padahal, Senin hari yang teramat sibuk. Lalu, begitu masuk, kok kebetulan konter CS asuransi kosong. Aku langsung duduk dan ngomel tanpa membesar-besarkan cerita yang menimpaku selama ini. CS ini sangat responsif dan urusanku menutup asuransi kelar.
Mendengar aku punya masalah dengan aplikasi perbankan, CS lain yang duduk di sebelah CS asuransi tiba-tiba berdiri menawarkan bantuan. Padahal dia bukan petugas CS yang melayani antrean. He is the boss!
Setelah mengecek aplikasiku, ia juga berdecak heran soal KK yang tidak muncul di aplikasi. "Jadi, bukan karena saya gaptek kan?" kataku, sedikit lega. "Bukan. Ini memang ganjil," katanya.
Aku terus menjaga pikiran agar tidak mengarang cerita dengan asumsi apapun. Agar solusi muncul dari medan kuantum. ...
CS ini menelepon ke kantor pusat. Lama dan panjang. Akhirnya masalahnya ketahuan: aku dulu itu membuka rekening di Jakarta. Waktu pindah ke Bali dan ber-KTP Bali tetap menggunakan rekening yang sama. Informasi indukku dan berbagai data lain termasuk email dan nomor telepon sebagai nasabah tetap di Jakarta dan bank di Bali hanya pelaksana. ... Dst, dll dlsb. ...
Itu yang jadi pangkal masalah. Dia janji akan membantu mengurus itu hingga tuntas dan aku bisa pulang dengan puas!
Urusan yang semula bertahun terasa sebagai masalah besar itu selesai begitu saja. Dalam waktu satu jam saja. Padahal, aku sudah menyiapkan diri untuk setengah hari berkutat mengurus administrasi perbankan. ...
Pulang dari bank, hatiku terasa ringan dan pikiran lapang. Badan ikut terasa ringan melayang. Mau menari-nari di jalan, takut dikira gila!
Seharian itu aku lanjutkan setelan default 0:0 di kepala. Beberapa kejadian tidak mengenakkan yang kualami dengan beberapa orang lain setelah itu jadi tidak masuk hitungan! Orang -orang yang tidak sadar dan patut dikasihani. Takkan kubiarkan apapun dan siapapun mengubah setelan default 0:0 di kepalaku.
Kutolak situasi apapun di luar yang memancingku untuk marah, kesal, ngomel, menggerutu, mengeluh, galau, takut, atau bahkan sekadar kepo. Cukup kuamati apapun dan siapapun tanpa bereaksi. ....
Semua kejadian yang bisa diceritakan sebagai masalah hari itu bisa lesap ke dalam masa lalu dan tidak dapat tempat di dalam memori untuk kubawa ke masa depan. Terlebih lagi berita-berita dan cerita-cerita dari seantero negeri dan dunia ini sehari itu, yang tidak pernah habisnya. ...
Semua kejadian dan seluruh cerita duniawi hanya melintas di kesadaran bak mimpi. ...
Sistem default 0:0 itu membuatku jadi bisa menerima apapun dan hidup ini mendadak indah dan ringan. Misalnya pada hari itu aku bisa menerima bahwa setiap manusia hanya sedang melakukan yang dikiranya terbaik untuk dirinya.
Dan tidak semua orang diberkati dengan kepekaan untuk menghormati waktu orang lain. Tidak semua orang beruntung memiliki rasa simpati, dan empati, serta rasa syukur yang otomatis.
Sehingga tidak semua orang mudah dan terbiasa berterima kasih dalam menerima kebaikan lain, kecil atau besar. Setiap orang hanya memikirkan kepentingan dirinya dan kebanyakan berinteraksi secara transaksional.
Tidak semua orang mampu merasa cukup hingga mereka terus cenderung serakah dan kebiasaan menimbun. Tidak semua orang percaya diri sehingga mereka masih merasa perlu memamerkan apa yang mereka punya, apa yang mereka bisa, dan apa-apa yang pernah mereka punya dan bisa.
Pendek kata dan terutama aku mulai belajar memerima bahwa tidak semua orang beruntung dianugerahi kesadaran sebagai manusia hidup.
Harus kuterima semua itu karena bila tidak, maka hidupku akan kulewati dengan melawan arus deras kehidupan berupa kekacauan dan kegaduhan yang diciptakan oleh gelombang pikiran manusia-manusia lain.
Harus kuterima bila aku tidak mau tumbuh menjadi negaholik: Setiap hal aku persoalkan, setiap kelakuan orang akan kukeluhkan, terlalu banyak yang membuatku tak berkenan. Semua hal keliru ingin aku kukoreksi, kritisi, sinisi, kepoi, ... seakan-akan hanya aku di dunia ini yang sudah benar, lurus, dan sempurna! Itu aku yang mengerikan!
Bila sudah negaholik, bisa-bisanya pula aku nanti merasa bahwa nasib burukku dan hidupku begini karena ayahku dan ibuku begitu, karena mantanku dulu, karena si Anu, karena ... Jokowi!
Lagi pula, bukankah hidup ini sendiri sudah amat sangat adil? Setiap orang hanya mendapatkan apapun yang mereka niatkan, pikirkan, ucapkan, dan lakukan. Dan masalah-masalah yang terpaksa kita geluti di masa kini tiada lain merupakan buah-buah yang benih-benihnya kita tanam di masa lalu. ...
Selayaknya pula, kubiarkan saja prasangka dan asumsi orang, apapun itu, siapapun itu, termasuk prasangka dan asumsi tentang aku, kalaulah ada. Tak perlu kuhitung dan kuperhitungkan agar semua itu tidak memasuki sistemku yang default 0:0.
Bukan mustahil sistem default 0:0Â itu kuterapkan setiap hari. Kuat? Kuat sih kuat mungkin asalkan mau.
Tetapi jadi kebayang. Kasihan juga manusia-manusia lain di luar sana yang berharap, menanti tanggapan dan reaksiku, yang mungkin diam-diam telah berasumsi begini begitu tentang aku, dan bahkan berprasangka terhadapku.
Kasihan yang sudah terlanjur mengharapkan aku begitu begini, kasihan pengirim email yang mengira bisa menuntut perhatian dan waktuku. Kasihan orang yang menerima pesan WA-ku dan hanya membacanya tapi dengan sengaja tidak membalas karena ia tidak berkenan atau kecewa tidak mendapatkan tanggapan yang diharapkannya dariku.
Oh iya! Nyaris setiap interaksi kita sehari-hari itu penuh muatan harapan dan tuntutan orang terhadap kita!
Mereka akan lebih kecewa lagi dong bila tahu aksi negatif mereka tak sedikit pun mendapat reaksi bahkan tidak mampu menembus sistem default kita. Sungguh kasihan.
Tetapi aku harus lebih kasihan pada diriku sendiri bila aku membiarkan diri mereaksi semua itu.
Terlalu banyak kejadian dalam sehari. Terlalu banyak kekeliruan manusia yang seakan-akan membutuhkan koreksi, kritikan, dan reaksi dari kita. Terlalu banyak manusia yang akan menuntut kita agar memenuhi standar, harapan, dan kriteria pribadinya. Apakah kita mau terus-menerus jadi bulan-bulanan situasi? Jadi bola opini? Dan jadi budak standar pribadi orang lain?
Kalau tidak mau, dont create any story, don't take things personally, and don't take life seriously. Just be. Just do it! Setel pikiran di default 0:0. ....
Keajaiban hidup itu bukan di sana dan nanti, melainkan sudah di sini pada saat ini juga, dan sudah selalu ada di dalam genggaman kita.
**
Kuta Selatan, Bali, 09 November 2022
Penulis: Rany Rachmadani Moediarta, untuk Kompasianer Mettasik
Mantan Jurnalis | Penulis Novel | Penerjemah Buku
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H