Setelah melewati musim kemarau yang panas dan kering, di penghujung bulan Oktober ini, musim hujan akhirnya tiba. Di musim hujan udara cenderung terasa sejuk, pepohonan yang asalnya meranggas karena kekeringan, mulai memunculkan tunas baru, pucuk-pucuk daun mulai bermunculan di ranting-ranting muda. Tanah menjadi begitu lembab, tak menyisakan debu sedikit pun.
Sore ini begitu sejuk, duduk di teras rumah ditemani secangkir teh, sambil memandangi sisa-sisa hujan yang mengguyur cukup deras sejak siang hari tadi, sangatlah menyenangkan.
Tiba-tiba, tanpa diundang sebuah perasaan muncul. Aku sangat mengenalnya karena "dia" kerap kali muncul dan setiap kemunculannya menyisakan bara didalam hati, amarah, dan kebencian. Perasaan yang lahir dari sebuah peristiwa yang sudah sangat lama terjadi, tapi perasaan ini masih ada dan selalu ada.
"Aaaahhhhh itu lagi" pikirku.
Dan untuk meredam sakit hati, pikiran mulai sibuk mengulang semua yang pernah dibaca seperti, "Kebencian tidak akan berakhir dengan kebencian, kebencian hanya memberi penderitaan, kebencian hanya bisa dikalahkan oleh cinta kasih," dan seterusnya.
Aroma teh yang kusesap mengingatkanku pada retret meditasi "Zen, dalam secangkir teh." Â Ingatanku dibawa kembali ke saat itu, suasana yang hening, tenang, dan damai. Teringat ceramah waktu itu yang membahas tentang "Tiada api yang sedahsyat api nafsu".
Segera kutuliskan di mesin pencari, mbah Google yang sakti, menjawab dalam waktu yang singkat, ternyata ini adalah bagian dari sabda Guru Agung kita, syair lengkapnya berbunyi seperti ini:
"Tiada api yang menyamai nafsu, tiada cengkeraman yang dapat menyamai kebencian, tiada jaring yang dapat menyamai ketidaktahuan, dan tiada arus yang sederas nafsu keinginan."
Ya... inilah yang selalu membakarku selama ini, api nafsu, cengkraman kebencian, jaring ketidaktahuan, dan arus keinginan. Tapi mengapa? Bukankah selama ini saya tahu? Aku mencoba menelusuri perasaan ini dan inilah biang keladinya: "Dia telah menghancurkan aku"Â
"Aku atau ke-Aku-an" adalah jaring kegelapan batin atau ketidaktahuan, dan api nafsu yang untuknya keserakahan, kebencian, dan keinginan jahat muncul ke permukaan.Â
Selama api ini tengah membakar, semua pengetahuan, semua pemahaman benar menjadi tenggelam. Semuanya lupa. Api ini tidak pernah sepenuhnya padam, menyisakan bara yang tertutupi, menunggu kondisi yang tepat untuk muncul kembali.
Kondisi seperti apa?
Kondisi batin yang sedang kering. Kering dari ajaran luhur, dari Dhamma.
Api ke-Aku-an ini membakar setiap orang, membuatnya mencari kebahagiaan dengan memuaskan keinginan.
Termasuk mencari kepuasan dalam balas dendam dan keinginan untuk menghancurkan orang lain. Padahal ini tidak akan pernah membawa kita menuju kebahagiaan dan kedamaian. Hanya cinta kasih dan belas kasih yang mampu memadamkan kebencian.Â
Ajaran kebenaran atau Dhamma laksana air hujan yang mampu membasahi dan menyejukkan batin. Sungguh sangat beruntung, saat ini banyak Guru-guru Dhamma yang dengan sepenuh hati membabarkan Dhamma demi kepentingan kita, dan sosial media membuatnya menjadi mudah untuk kembali mendengarkan Ajaran-ajaran luhur ini kapanpun kita mau.
Aku tersenyum, dan membuat pengingat, mulai saat ini kalau perasaan yang sama ini muncul lagi, aku paham, artinya kondisi batinku sedang kering. Inilah saatnya aku pulang, menyiram, membasahi, menguatkan batin dan kembali menempuh Jalan Mulia beruas delapan.
Inilah saatnya aku menambah tabungan kebajikan. Selangkah demi selangkah membebaskan diri dari ke-Aku-an, api nafsu, dan kegelapan batin.
Sebelum kematian menjemput, semoga aku selalu punya kesempatan untuk berbuat baik. Walaupun kecil, kebaikan tetaplah kebaikan dan apapun jenisnya kebaikan sangatlah bernilai.
Seperti syair indah yang diucapkan oleh Sang Guru:
"Janganlah meremehkan kebajikan walaupun kecil dengan berkata: 'Perbuatan bajik tidak akan membawa akibat'. Bagaikan sebuah tempayan akan terisi penuh oleh air yang dijatuhkan setetes demi setetes, demikian pula orang bijaksana sedikit demi sedikit memenuhi dirinya dengan kebajikan." Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â
Terimakasih hujan, telah "memberi" kesejukan lahir dan batin.Â
Semoga aku berbahagia.
Semoga yang membaca pun turut berbahagia.
Semoga semua mahluk berbahagia.
Sadhu
**
Bandung, 07 November 2022
Penulis: Yasodha Dei, Kompasianer Mettasik
Learn, Rise, and Shine
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H