Mohon tunggu...
Kompasianer METTASIK
Kompasianer METTASIK Mohon Tunggu... Lainnya - Menulis itu Asyik, Berbagi Kebahagiaan dengan Cara Unik

Metta, Karuna, Mudita, Upekkha

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Ketika Rahula Meminta Warisannya

6 November 2022   12:12 Diperbarui: 6 November 2022   12:12 840
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ketika Rahula Meminta Warisannya (gambar: wikipedia.org, diolah pribadi)

Pangeran Rahula adalah putra tunggal Pangeran Siddhattha dan Putri Yasodhara dari kerajaan Sakya. Rahula lahir di hari ketika Pangeran Siddhattha memutuskan meninggalkan kehidupan keduniawian untuk menjadi petapa pencari obat bagi penderitaan manusia. Pangeran Siddhattha berhasil mencapai pencerahan sempurna dan menjadi Buddha, lalu pada suatu kesempatan Beliau pulang kampung ke Kapilavasthu bersama serombongan besar para bhikkhu.

Pada hari ketujuh ketika Buddha telah berada di kampung halaman-Nya, Putri Yasodhara mendandani Pangeran muda Rahula, menunjuk kepada seorang petapa sambil berkata, "Lihatlah, Nak, petapa yang kulitnya keemasan itu, yang mirip Brahma dan dikelilingi 20,000 petapa. Beliau adalah Ayahmu. Beliau memiliki kekayaan yang luar biasa.

Sejak Pelepasan Agung, kami tidak bertemu dengan Beliau. Hampirilah Beliau dan mintalah warisanmu. Katakan kepada Beliau bahwa kamu kelak akan menjadi raja dan kamu memerlukan kekayaan yang besar untuk memerintah kerajaan ini."

Pangeran Rahula menuruti permintaan Ibunya, menghampiri Buddha dan berkata, "O, petapa. Bahkan bayangan-Mu pun menyenangkan hatiku." Setelah selesai bersantap, Buddha beranjak pergi meninggalkan istana dan Pangeran Rahula mengikuti-Nya sambil berkata, "Berikanlah warisan saya." Ketika mereka telah sampai di taman, Buddha berpikir, "Ia menginginkan kekayaan Ayahnya, tetapi kekayaan semacam itu bersifat keduniawian dan penuh persoalan.

Aku akan memberikannya kekayaan yang tujuh kali lebih mulia yang telah Aku peroleh melalui penembusan akhir di bawah pohon Bodhi, dan membuatnya menjadi pemilik dari warisan yang di luar pengertian dan pengalaman manusia biasa." Buddha lalu meminta Sesepuh Sariputta untuk menahbiskan Pangeran Rahula menjadi seorang calon rahib (samanera). 

Bertahun-tahun lalu saat pertama kali membaca kisah itu di buku "Sang Buddha dan Ajaran-Ajaran-Nya" karya Bhikkhu Narada Mahathera, yang sampul depannya bergambar foto beliau dan pada lembar pertama bagian dalam tercetak foto Bhante Narada dengan latar belakang Candi Borobudur (yang mana foto tersebut menggungah perasaan sentimentil saya, melihat seorang bhikkhu sepuh dan tokoh penting kebangkitan Buddhisme di Indonesia), saya memahami cerita tersebut sekadar sebuah cerita dari riwayat hidup Buddha.

Saya tak memahami bahwa apa yang Buddha renungkan itu, tentang betapa harta duniawi itu harta yang pelik dan penuh persoalan dan tak ada seperenambelas bagian pun dari harta pencerahan sejati, sesungguhnya menyanpaikan pesan dengan makna yang amat mendalam melebihi sekadar sebuah cerita dari satu kejadian di masa lampau belaka.

Saya tak bermaksud men-demotivasi siapa pun yang sedang giat-giatnya menguber uang, mungkin sambil menyanyikan lagu-lagu kebangsaan aliran materialisme yang bertema "uang bukan segalanya tapi segalanya butuh uang" (eh, ada ya lagu-lagu semacam itu? Hehe...).

Saya juga tak berminat mendiskreditkan harta duniawi. Hei, saya ini masih makhluk awam dari masyarakat urban di mana uang adalah mekanisme pertahanan hidup yang paling penting. Bayangkan orang kota tanpa uang, bisa bikin apa? Bahkan kencing saja harus bayar, di WC Umum. Kalau di pinggir jalan dekat pohon besar, sih... gratis. Tapi hati-hati! Mungkin ada CCTV yang bisa jadi online ke tayangan live di IG atau youtube,  atau ada penunggu pohonnya yang bisa tersinggung... hahaha.

Tapi coba kita renungkan, bukankah benar harta duniawi dengan uang sebagai maskotnya serta pengejaran kekayaan di bidang apa pun dan dengan metode atau cara apa pun, usaha-usaha itu mustahil tanpa menimbulkan gesekan dan masalah.

Mulai dari pelanggaran sila yang kita lakukan sedikit-sedikit dan dibungkam dengan pembenaran-pembenaran macam "Kalau aku tidak bilang begitu maka transaksi ini tidak akan deal. Toh kata-kataku itu tidak sepenuhnya bohong, hanya melebih-lebihkan saja. Itu namanya kiperbola, Bro, eh.... hiperbola", atau "Bisnis itu memang kejam! Gimana mau menang tender kalau kita lemah gemulai membiarkan pesaing melaju.

Harus dijegal dengan segala cara!" Bahkan pebisnis yang paling menjunjung etika dan moralitas, yang bergerak di bidang bisnis yang secara teori tak melanggar mata pencaharian benar pun, tak luput menciptakan kilesa-kilesa atau gesekan-gesekan demi menguber uang. Coba renungkan, berapa banyak stres? Berapa kali muncul lobha, dosa, dan pastilah moha saat proses bisnis sehari-hari?

Apa berarti uang itu sumber kejahatan? Apa berarti berbisnis untuk menguber uang itu haram?

Bukan begitu. Uang itu hanya alat, dia bersifat netral. Uang menjadi masalah karena cara kita yang salah dalam memperlakukannya. Dengan kata lain, uang sebagai alat bisa disalahgunakan untuk tujuan-tujuan jahat sekaligus bisa juga dibenargunakan untuk tujuan-tujuan mulia.

Dan bisnis juga sama, tidaklah haram selama mengikuti hukum dan etika yang berlaku. Kalau bisnis haram, tidak ada yang jualan kopi dan jajanan enak, kan gawat buat yang suka kopi dan jajanan enak seperti si jomlo Chuang?

Tetapi yang menjadi persoalan adalah batin awam kita yang, ketika berada di dunia bisnis yang mirip medan perang (makanya strategi perang Sun Tzu diaplikasikan dan sempat viral dulu), maka kecondongan-kecondongan buruknya mudah sekali tersulut dan menimbulkan persoalan-persoalan.

Ketersulutan itu pada gilirannya menuai reaksi tersulut juga, karena di dunia bisnis kita pun biasanya berhadap-hadapan dengan batin-batin awam juga, batin-batin yang masih amat mudah jatuh ke pernagkap-perangkap kilesa.

Ketika Rahula meminta warisannya, Buddha tahu apa yang terbaik untuk putra-Nya itu. Beliau bukan sekadar tahu, melainkan sungguh-sungguh tahu dari perspektif yang paling murni tanpa noda bahwa harta pencerahan melampaui harta duniawi mana pun.

Ketika Rahula menerima warisannya, dia pun tercerahkan. Dia menjadi suciwan tingkat akhir, apa yang harus diselesaikan sudah diselesaikan. Tak ada lagi persoalan, tak ada lagi masalah. Segalanya sudah sampai ke garis akhir yang sesungguhnya. Tak seperti kita yang garis akhirnya selalu menjauh setahap ketika kita maju setahap juga sehingga, pada akhirnya, tak ada akhir sama sekali: kita harus terus berlari, lari, lari dan terus berlari.... di atas roda Samsara!

T: Sampai kapan?

J: Sampai berjumpa lagi...Sayonaraaa...Sayonaraaa....!

T: Jangan edan! Serius, dong!

J: Sampai kita sadar dan mulai memperhatikan dan mempraktikkan dengan sungguh-sungguh warisan jalan pencerahan yang telah diberikan Buddha.

**

Bali, 06 November 2022
Penulis: Chuang Bali, Kompasianer Mettasik

Penerjemah Buku "Si Cacing dan Kotoran Kesayangannya" (Ajahn Brahm)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun