Mulai dari pelanggaran sila yang kita lakukan sedikit-sedikit dan dibungkam dengan pembenaran-pembenaran macam "Kalau aku tidak bilang begitu maka transaksi ini tidak akan deal. Toh kata-kataku itu tidak sepenuhnya bohong, hanya melebih-lebihkan saja. Itu namanya kiperbola, Bro, eh.... hiperbola", atau "Bisnis itu memang kejam! Gimana mau menang tender kalau kita lemah gemulai membiarkan pesaing melaju.
Harus dijegal dengan segala cara!" Bahkan pebisnis yang paling menjunjung etika dan moralitas, yang bergerak di bidang bisnis yang secara teori tak melanggar mata pencaharian benar pun, tak luput menciptakan kilesa-kilesa atau gesekan-gesekan demi menguber uang. Coba renungkan, berapa banyak stres? Berapa kali muncul lobha, dosa, dan pastilah moha saat proses bisnis sehari-hari?
Apa berarti uang itu sumber kejahatan? Apa berarti berbisnis untuk menguber uang itu haram?
Bukan begitu. Uang itu hanya alat, dia bersifat netral. Uang menjadi masalah karena cara kita yang salah dalam memperlakukannya. Dengan kata lain, uang sebagai alat bisa disalahgunakan untuk tujuan-tujuan jahat sekaligus bisa juga dibenargunakan untuk tujuan-tujuan mulia.
Dan bisnis juga sama, tidaklah haram selama mengikuti hukum dan etika yang berlaku. Kalau bisnis haram, tidak ada yang jualan kopi dan jajanan enak, kan gawat buat yang suka kopi dan jajanan enak seperti si jomlo Chuang?
Tetapi yang menjadi persoalan adalah batin awam kita yang, ketika berada di dunia bisnis yang mirip medan perang (makanya strategi perang Sun Tzu diaplikasikan dan sempat viral dulu), maka kecondongan-kecondongan buruknya mudah sekali tersulut dan menimbulkan persoalan-persoalan.
Ketersulutan itu pada gilirannya menuai reaksi tersulut juga, karena di dunia bisnis kita pun biasanya berhadap-hadapan dengan batin-batin awam juga, batin-batin yang masih amat mudah jatuh ke pernagkap-perangkap kilesa.
Ketika Rahula meminta warisannya, Buddha tahu apa yang terbaik untuk putra-Nya itu. Beliau bukan sekadar tahu, melainkan sungguh-sungguh tahu dari perspektif yang paling murni tanpa noda bahwa harta pencerahan melampaui harta duniawi mana pun.
Ketika Rahula menerima warisannya, dia pun tercerahkan. Dia menjadi suciwan tingkat akhir, apa yang harus diselesaikan sudah diselesaikan. Tak ada lagi persoalan, tak ada lagi masalah. Segalanya sudah sampai ke garis akhir yang sesungguhnya. Tak seperti kita yang garis akhirnya selalu menjauh setahap ketika kita maju setahap juga sehingga, pada akhirnya, tak ada akhir sama sekali: kita harus terus berlari, lari, lari dan terus berlari.... di atas roda Samsara!
T: Sampai kapan?
J: Sampai berjumpa lagi...Sayonaraaa...Sayonaraaa....!
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!