Ketika sedang galau sering kita bilang seperti ini, "Coba kau bayangkan dulu perasaanku, tega-teganya dia mengkhianati aku." Nah, sudah benarkah kita menyuruh orang lain membayangkan perasaan kita, padahal perasaan itu tidak bisa dibayangkan tapi dirasakan.
Kali ini penulis akan bercerita tentang perasaan yang pernah penulis rasakan, mulai dari kecewa, sakit hati sampai bahagia. Semoga pembaca bisa merasakan perasaan yang dirasakan penulis. Mari sama-sama merasakan.
Beberapa tahun setelah pindah dari Medan ke Pangkalan Kerinci, saya dan suami pernah mengalami kondisi yang membuat kami bingung, panik, marah,cemas, dan entah apalagi perasaan yang timbul. Bercampur aduk dan bahkan putus asa.
Awalnya suami saya mengalami sakit perut yang didiagnosis dokter adalah sakit maag. Setelah beberapa minggu mengkonsumsi obat dari dokter di klinik perusahaan, tidak menunjukkan kemajuan yang signifikan. Maka saya membawa suami berobat ke dokter spesialis penyakit dalam yang memang dijadwalkan praktek di klinik perusahaan dua kali seminggu.
Hasilnya sama. Rasa cemas mulai membuat saya berpikir jauh, apakah ada sesuatu yang salah dengan pola makan, pola hidup, atau jangan-jangan diguna-guna.
Nahh.... kecemasan bisa membawa kita jauh dari akal sehat. Saya mulai memasak sendiri makanan suami, mengikuti apa saja yang disarankan oleh dokter, orang tua maupun teman-teman. Obat dokter dan obat herbal pun silih berganti diberikan dengan mengatur durasi waktu yang pas. Selisih pemberian obat dokter dan obat herbal minimal tiga jam. Dan terus berusaha menepis jauh-jauh pemikiran tentang hal-hal mistis yang mungkin terjadi.
Tidak sembuh juga, dari cemas berangkat ke rasa takut. Suami makin hari makin pucat, makin sakit dan makin lemah. Apa yang harus saya lakukan? Rasa takut ini membuat saya berusaha membawa suami ke dokter yang lain dan yang lain, inilah usaha yang bisa saya lakukan. Hasilnya nol.
Melihat suami yang makin lemah, saya tidak berani menunjukkan perasaan saya di depan dia. Saya pura-pura kuat. Dimana saya lampiaskan perasaan ini? Di kamar mandi, setiap kali saya mandi, di saat itulah emosi saya terlampiaskan dengan menangis dan menangis.
Satu bulan berlalu, saya kembali membawa suami saya ke dokter dan meminta pengecekan yang lebih intens. Tetapi dokter spesialis yang praktek di klinik menolak, katanya tidak perlu karena ini hanya akibat peningkatan asam lambung.
Tidak puas dengan keterangan dan tindakan dokter yang semakin banyak memberi obat-obatan, 2 butir sebelum makan dan 3 butir setelah makan dengan dosis 3 kali sehari. 15 butir obat sehari menurut saya sudah tak benar. Maka saya membawa suami saya ke dokter yang lain, bukan dokter provider asuransi. Tidak apalah bayar sendiri, hanya ini yang ada dipikiran saya.
Sampai di dokter tersebut, suami di USG, hasilnya bagus, menurut dokter tersebut. Kembali dokter memberi diagnosis yang sama, yaitu sakit lambung. Akhhh....saya sudah mulai panik. Kembali pikiran-pikiran jauh melambung. Apakah suami saya memang sudah mengidap penyakit lambung yang begitu parah?
Sepertinya doa dan harapan saya setiap hari belum juga terealisasi. Begitu parahkah timbunan karma buruk saya selama ini? Setiap hari saya harus mengajar, masak, merawat suami dan setiap malam saya memijat tulang belakang suami untuk mengurangi sakitnya, sampai dia tertidur.
Kadang-kadang bisa sampai pukul 3 atau 4 subuh. Saat itulah saya bisa tertidur sebentar. Pukul 5 harus bangun untuk menyiapkan makanan suami dan anak saya yang waktu itu baru duduk di bangku SMP. Secara fisik, saya sangat lelah, luar biasa lelah. Tetapi semangat saya untuk menjaga suami membuat saya bertahan.
Tiga bulan berlalu, suatu hari saya perhatikan mata suami berubah menjadi kuning. Kembali saya membawa suami saya ke klinik dan saat itu, dokter memberi rujukan untuk check darah. Sore harinya, saya membawa suami saya untuk mengambil hasil check darah sekaligus kontrol ke dokter.
Ternyata suami saya mengidap penyakit Hepatitis A. Dokter menyarankan untuk istirahat di klinik, saat itu saya merasa aneh, kenapa di klinik yang minim fasilitas, bukan di rumah sakit?
Saya Pun meminta rujukan agar suami saya dirawat di rumah sakit. Jawaban dokter sangat luar biasa, "Tidak perlu bu, ini hanya sakit biasa. Dirawat di sini saja".
Saat itu juga rasa marah saya meluap. "Apakah karena kami menggunakan asuransi, maka kami tidak boleh memilih?" Itu pertanyaan saya ke dokter. "Sekarang saya mau minta rujukan ke rumah sakit di Malaka." Kemarahan saya membuat saya begitu berani menuntut.
"Di sini saja bu, penyakit ini tidak perlu sampai ke Malaka." Dokter menolak.
"Kalau begitu saya bawa pulang saja suami saya." Saya membalas dengan ketus.
"Ibu harus menandatangani surat penolakan dirawat di klinik ini, kalau terjadi apa-apa dengan suami ibu, itu bukan tanggung jawab kami." Dokter memberi statemen yang membuat saya lebih marah.
"Ayo kita pulang." Saya mengajak suami saya yang sudah lemas tanpa menghiraukan ocehan dokter.
Sesampainya di rumah, saya langsung menelepon Ketua Yayasan kami, dan mengancam akan balik ke Medan kalau tidak diberi rujukan untuk berobat ke Malaka, karena penanganan yang tidak memuaskan dari klinik. Sambil menceritakan kronologis penyakit suami  dan bagaimana penanganan yang saya anggap terlalu meremehkan penyakit suami saya.
Perasaan apa yang timbul setelah itu? Ketakutan yang luar biasa.
Bagaimana kalau permintaan saya ditolak? Kami harus kembali ke Medan dengan menyandang status pengangguran dan menanggung segala biaya pengobatan suami.
Kalau permintaan dikabulkan, darimana saya akan mendapat uang untuk biaya perobatan suami saya di Malaka nantinya. Walaupun memakai jasa asuransi perusahaan, kami harus bayar terlebih dahulu kemudian diklaim setelah itu.
Tiket pesawat dan hal-hal yang tidak terduga lain yang pasti akan timbul setelah menjalaninya. Darah seperti tidak lagi mengalir ke kepala, kebas dan keringat dingin mulai terasa.
Saya merasa saya adalah orang paling egois di dunia. Karena emosi sesaat, suami saya akan ikut menderita. Saya sudah putus asa. Kenapa saya bisa mengambil keputusan yang nantinya tidak bisa saya pikul?
Yang bisa saya lakukan hanya satu. Berdoa memohon jalan keluar sebaik-baiknya, sembari terus berharapsemoga karma baik kami berbuah. Saya berlutut di depan altar tempat biasanya suami saya bermeditasi dan memohon dengan sepenuh hati dalam keputusasaan.
Biarlah penyakit suami saya ini berpindah ke saya saja. Sudah tiga bulan dia menderita, saatnya saya yang menanggung semuanya. Saya sudah bersalah. Tidak mampu merawat suami dengan baik. Dan segera akan membuat kami kehilangan pekerjaan. Saya siap menerima semuanya. Pasrah.....
Akhirnya kabar baik pun kami dapatkan. Besoknya saya ditelepon oleh pihak asuransi perusahaan untuk konfirmasi rujukan ke rumah sakit di Malaka. Saya sangat bersyukur, mungkin sekarang sudah saatnya karma baik kami berbuah, sehingga hati Ketua Yayasan tergerak untuk membuat rekomendasi, tidak ada yang tahu dan mengerti. Sungguh sebuah keajaiban.
Sudah selesaikah masalah kami? Uang ...darimana saya mendapat uang, saat itu kami belum banyak tabungan. Tapi saya jalani dulu. Saya mengurus paspor kilat. Dan menghubungi kakak ipar untuk mengabari bahwa kami sudah mendapat surat rujukan dari dokter untuk berobat ke Malaka. Dan sekali lagi, berita baik pun kami terima. kakak ipar bersedia membantu seluruh keperluan kami selama di Malaka. Beliau langsung mentransfer uang kepada kami.
Perasaan apa yang saya rasakan pada akhirnya? Bersyukur karena akhirnya segala masalah berhasil diatasi. Bersyukur suami kami sembuh dari hepatitisnya dengan perawatan intensif di salah satu rumah sakit di Malaka, hanya perlu rawat inap selama 5 hari. Â Saya bahagia bisa melayani suami saya dengan tenang selama pemulihannya.
Apa hikmat yang saya dapatkan dari pengalaman ini?
Bukan hanya suami saya saja yang makin sayang sama saya, bahkan keluarga suami juga bisa saya rasakan sangat menghargai saya. Inilah kebahagiaan yang saya rasakan.
Bisakah perasaan saya ini dibayangkan saja? Bagaimana perasaan yang timbul dari para pembaca setelah menyelami pengalaman saya ini?
Semoga semua makhluk berbahagia
**
Pangkalan Kerinci, 02 November 2022
Djuwita Ratna, Kompasianer Mettasik
Pendidik | Koordinator 11 Sekolah Hutan Taman Industri Riau
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI