Mohon tunggu...
Kompasianer METTASIK
Kompasianer METTASIK Mohon Tunggu... Lainnya - Menulis itu Asyik, Berbagi Kebahagiaan dengan Cara Unik

Metta, Karuna, Mudita, Upekkha

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Pillow Talk #8: Ini Kisah Tentang 108 Perasaan (Vedana)

31 Oktober 2022   18:58 Diperbarui: 31 Oktober 2022   19:14 354
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Kisah Sebelum Tidur (gambar: mom.com, diolah pribadi)

Ade: "Mami! Mengapa kejadian di masa lalu yang menyenangkan, kalau sekarang dikenang kembali rasanya sedih? Begitu juga sebaliknya, kejadian di masa lalu yang tidak menyenangkan, sekarang kalau dikenang kembali, rasanya senang. Mengapa bisa terbalik?"

Mami: "Menurut Ade sendiri bagaimana?"

Ade: "Saat kenang kejadian senang, kita sedih sebab semua sudah lewat, tinggal memori. Dan saat kenang yang sedih, kita senang sebab kita tidak mengalaminya lagi."

Mami: "Saat mengenang kejadian senang malah sedih sebab Ade menginginkan rasa senang itu abadi. Sebaliknya saat mengenang perasaan sedih, Ade malah senang sebab sudah terbebas dari rasa tidak senang tersebut."

"Bisa begitu karena kita selalu memuja-muja perasaan senang dan kita menolak perasaan tidak senang. Kita maunya perasaan senang ini abadi. Keinginan buat merasakan perasaan senang terus inilah yang menjadi salah satu sebab penderitaan (dukkha)."

"Disini juga menunjukkan bahwa perasaan itu berubah (annica), meskipun  objeknya mirip, bila terjadi di waktu yang  berbeda maka rasanya berbeda juga."

"Perasaan itu bukanlah kita, tidak ada ego atau aku yang merasakan perasaan ini (anatta). Perasaan adalah  fenomena yang muncul karena adanya kontak dengan objek. Yang merasakan perasaan adalah perasaan itu sendiri."

"Misalnya, Ade mendengar Kakak lagi bernyanyi.  Maka timbul perasaan karena ada kontak antara suara dengan indra pendengaran. Muncul perasaan senang, tidak senang dan netral."

"Saat perasaan senang muncul, Ade ingin Kakak bernyanyi terus. Sebaliknya saat perasaan tidak senang muncul, Ade ingin Kakak buru-buru berhenti bernyanyi. Di sini yang sakit siapa?  Telinga Ade, atau perasaan Ade?"

Ade: "Yang sakit adalah perasaan itu sendiri. Terus kok ada perasaan netral, Mi?"

Mami: "Ketika tidak merasakan perasaan senang dan perasaan tidak senang, itulah perasaan netral. Dalam sutta bahkan disebutkan perasaan itu ada 108 macam."

Ade: "Wow, banyak amat!"

Mami: "Ya. Basicnya cuma ada tiga; perasaan senang, tidak senang dan netral."

Ade: "Terus kok jadi banyak?"

Mami: "Perasaan timbul akibat kontak dengan 6 indra (mata, telinga, hidung, lidah, tubuh dan batin), jadilah  3x 6 = 18 jenis perasaan."

Ade: "Terus?"

Mami : "Perasaan itu bisa muncul  di masa lalu, masa sekarang dan masa akan datang. Jadilah 18x 3 = 54."

"Nah..perasaan itu bisa muncul gara-gara faktor dari luar dan dari dalam diri , makanya

54 x 2= 108 macam perasaan."

Ade: "Wow!"

Mami: "Mengetahui bahwa perasan itu adalah penderitaan (dukkha), berubah (anicca) dan bukanlah diri (anatta), apakah kita boleh melekatinya?"

Ade:" Tentu saja tidak! Tidak ada yang layak buat dilekatin. Lepaskanlah!"

Mami: "Nah! Bagaimana cara untuk tidak melekati perasaan ini?"

Ade: "Selalu ingatkan diri untuk  tidak menjadi budak perasaan. Don't be a slave to your emotions. Control them"

Mami: "Bisa kontrol emosi itu baik, ibarat menahan emosi, menahan perasan. Tetapi apakah ini sama dengan melepas/tidak melekati perasaan? "

Ade: "Hmmm.."

Mami: "Dengan terus melakukan perenungan terhadap perasaan dan memahami hakikat bahwa perasaan adalah penderitaan (dukkha), berubah terus (anicca ) dan bukan milik saya (anatta), kita baru bisa melepas/tidak melekati perasaan ini."

Ade: "Pasti Mami mau bilang caranya dengan meditasi!"

Mami: "Betul sekali De!"

"Kita bisa melakukan latihan meditasi samatha buat menekan perasaan. Saat perasaan apapun yang muncul, kita abaikan saja.  Intinya kita fokus ke nafas. Di sini masih sebatas menenangkan saja. Perasaan belum lenyap dan sewaktu-waktu mungkin akan  muncul ke permukaan lagi."

"Beda dengan latihan meditasi vipassana, disini perasaan yang muncul kita perhatiin terus tanpa intervensi apapun. Cukup diamati saja dan sungguh ajaib, perasaan yang bergejolak itu bisa hilang dengan sendirinya."

Ade: "Ternyata perasaan itu pemalu ya Mi! Jika diamati terus, mereka kabur."

Mami: "Salah, bukan perasaan yg pemalu dan kabur. Tapi perasaan itu muncul, berlangsung dan lenyap (anicca)."

Ade: "Kesimpulannya meditasi vipassana lebih baguskah?"

Mami: "Bukan begitu juga. Baik meditasi vipassana maupun meditasi samatha, sama-sama bagus De! Yang penting di sini, kita harus mengetahui keadaan pikiran kita sendiri. Jika malas mengamati, maka fokuslah ke konsentrasi (fokus nafas) dengan latihan meditasi samatha. Sebaliknya jika susah konsentrasi maka fokuslah ke mengamati (vipassana)."

"Dalam meditasi samatha terdapat empat puluh objek meditasi. Dari sekian banyak objek, Mami paling suka objek metta (mengembangkan cinta kasih)"

"Kapan-kapan Mami jelasin tentang meditasi dengan objek cinta kasih (metta). Sekarang Mami sudah ngantuk. Mari kita tarik selimut. Good night."

Ade: "Zzzz...."

**

Jakarta, 31 Oktober 2022
Penulis: Lisa Tunas, Kompasianer Mettasik

A Loving Mom Who Learns Writing

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun