Mohon tunggu...
Kompasianer METTASIK
Kompasianer METTASIK Mohon Tunggu... Lainnya - Menulis itu Asyik, Berbagi Kebahagiaan dengan Cara Unik

Metta, Karuna, Mudita, Upekkha

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Empat Syukur Lima Sempurna

9 Oktober 2022   06:06 Diperbarui: 9 Oktober 2022   06:08 387
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jika kita membaca artikel atau menonton video tentang tip dan trik agar hidup bahagia, sangatlah mungkin salah satu dari sekian banyak tip yang disarankan adalah agar kita selalu ingat untuk bersyukur minimal tiga kali sehari, seperti jadwal umum minum obat.

Ini tampaknya karena orang yang mampu bersyukur akan memiliki cara pandang yang lebih optimis dan bersemangat atas kehidupan, yang pada gilirannya membuat pelakunya lebih mudah bahagia. Adalah hil yang mustahal seorang pesimis berwajah muram dan ogah-ogahan bisa menikmati hidup yang bahagia, ya kan?

Tapi sebenarnya apa itu bersyukur?

KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) memberikan dua arti untuk kata "syukur": 1. Ucapan terima kasih kepada makhluk adikodrati tertentu (yang dalam hal dan pengertian umum: Tuhan) atas suatu anugerah atau perlindungan atau rejeki atau berkah, 2. Untunglah, sebagai ekspresi kelegaan atau rasa senang karena memperoleh pengalaman yang baik atau terhindari dari pengalaman buruk.

Umtuk konteks Buddhis, arti yang pertama kurang pas karena Buddhisme tidak mengakui adanya makhluk adikodrati yang padanya kita bisa meminta-minta suatu rejeki atau keselamatan dan berterima kasih atas segala anugerah. Dan karena tulisan ini terutama dilatarbelakangi oleh pemikiran Buddhis, maka saya akan memakai arti "syukur" yang kedua, yakni suatu ekspresi bahagia atas terjadinya suatu pengalaman baik atau berkah.

Sebagai Buddhis, kita mengenal kemampuan bersyukur (dan berterima kasih) sebagai salah satu kualitas pribadi yang langka. Ini misalnya dapat ditilik dari istilah katannu katavedi, istilah yang dipakai untuk menyebutkan seseorang yang mampu bersyukur dan berterima kasih atas kebajikan-kebajikan yang telah dia peroleh, serta mampu atau tahu membalas budi. Orang ber-katannu katavedi adalah orang yang langka di dunia ini.

Demi hari-hari yang dipenuhi oleh semangat dan optimisme yang akan berujung pada kehidupan yang bahagia, saya menawarkan resep Empat Syukur Lima Sempurna berikut ini untuk kita praktikkan setiap hari, sebagai berikut:

Bersyukur Terlahir Sebagai Manusia

Kelahiran sebagai manusia masuk kategori sebagai kelahiran yang baik dan salah satu dari empat keberhasilan yang akan menyuburkan banyak benih karma baik, dan yang sekaligus menghambat berbuahnya banyak benih karma buruk. Untuk bisa lahir sebagai manusia, suatu makhluk paling tidak harus mempunyai modal moralitas minimal (pancasila) yang dipraktikkan dengan konsisten dan sungguh-sungguh.

Dari sekian banyak makhluk di alam semesta ini, makhluk yang berhasil lahir di alam-alam baik jumlahnya sangat sedikit. Demikian sulitnya terlahir di alam baik yang salah satunya lahir sebagai manusia, hingga dalam sutta kita bisa membaca suatu cerita tentang seekor kura-kura buta. Begini ceritanya:

Pada suatu masa hidupnya eekor kura-kura buta yang tinggal di suatu dunia melulu air, di mana di permukaan samudera besar itu ada sebuah gelang dari kayu cukup besar untuk satu kepala kura-kura. Gelang itu terombang-ambing acak ditiup angin dan gelombang laut, dan si kura-kura punya tradisi tiap 100 tahun sekali muncul ke permukaan. Coba tebak, berapa persenkah kemungkinan si kura-kura dengan tepat bisa memasukkan kepalanya ke dalam gelang kayu tersebut ketika dia muncul ke permukaan? 

Sangat sangat sangat sangat sangaaaaaaaaat kecil sekali, kan? Demikian juga kesempatan bagi para makhluk untuk bisa terlahir di alam-alam yang baik, misalnya alam manusia: sangat sangaat sangaaaaaat kecil sekaliiiiiiiiii.

Bersyukur Buddha Telah Hadir dan Mengajarkan Dhamma di Dunia

Saat Bodhisatta tercerahkan dan berhasil meraih kebuddhaan, Beliau sesungguhnya tidak lagi memiliki suatu kewajiban apa pun kepada siapa pun dan dengan alasan apa pun. TugasNya sudah selesai, Beliau telah menjadi makhluk paripurna yang sungguh-sungguh merdeka, tak bergantung pada siapa atau apa pun. Tetapi atas dasar welas asih-Nya yang sempurna atas "kemalangan" yang akan menimpa makhluk-makhluk bila tak mengenal Dhamma, Buddha kemudian bersedia mengajarkan Dhamma kepada kita. 

Kita bersyukur dan berterima kasih kepada Buddha atas pengajaran-Nya yang sempurna dengan cara mempraktikkan ajaran-ajaran-Nya hingga meraih tataran-tataran pencerahan seperti yang telah diraih oleh Beliau dan para siswa Arya, karena itulah bentuk syukur dan terima kasih yang Buddha inginkan kita haturkan kepada Beliau.

Secara personal, saya merenungkan tentang rasa syukur ini. Bahwa tanpa Buddha mengajarkan Dhamma-Nya, dan tanpa saya memiliki cukup kamma baik untuk mengenal Dhamma-Nya, tak terbayangkan betapa berat dan sulit hidup saya. Betapa banyak kegalauan dan derita tak perlu yang akan saya alami dalam hidup ini. 

Namun Dhamma menunjukkan bahwa ada hal-hal di dunia ini yang bermanfaat untuk dilakukan, dan ada hal-hal yang seharusnya dihindari karena tak bermanfaat serta bahkan membahayakan. Petunjuk dari Dhamma sangat jelas dan presisi, yang kadang-kadang bahkan mencengangkan karena kita terlalu biasa menganggap suatu hal sebagai kewajaran namun Dhamma menunjukkan itu adalah kesia-siaan belaka.

Bersyukur Memiliki Kesempatan untuk Mengenal dan Mempraktikkan Dhamma

Di dunia kita, mungkin ada ratusan atau jangan-jangan ribuan jenis ajaran spiritual. Sebagian dari mereka telah punah, sebagian bertransformasi menjadi bentuk yang lebih modern. Sebagian dari ajaran itu mengajarkan hal-hal yang bagi kita kini terasa aneh dan sulit dipercayai, sebagian lagi memiliki muatan-muatan kebajikan universal yang bisa diterima dalam kebudayaan apa pun.

Buddhisme adalah ajaran spiritual dengan kandungan nilai-nilai kebajikan universal sekaligus unik sendiri. Seperti pada ajaran-ajaran yang masih eksis hingga kini, pada Buddhisme kita juga bisa menemukan pengajaran tentang cinta kasih, penghormatan, pemgembangan kebjiksanaan, kedermawanan, pelepasan, semangat untuk kebaikan, penghargaan pada kehidupan. Namun dalam Buddhisme nilai-nilai itu juga unik sendiri karena memiliki definisi dan penjabaran yang lebih mendalam dan detil.

Ambil contoh cinta kasih

Pada Buddhisme, cinta kasih dijabarkan bukan sekadar rasa sayang kepada sesama manusia, tetapi dipancarkan kepada semua makhluk yang terlihat maupun tak terlihat yang berkaki satu, dua, empat dan tak berkaki, dan seterusnya. Dan praktik moralitas Buddhis pun tidak mengenal "pembenaran" untuk suatu perbuatan yang buruk: dalam Buddhisme, pembunuhan adalah pembunuhan selama persyaratannya telah terpenuhi, tak peduli apa pun alasannya.

Karena kandungan ajaran yang detil dan unik ini, yang tak kenal kompromi pada hasrat-hasrat primitif manusia seperti upacara pengorbanan dan pandangan akan kekekalan yang di ajaran-ajaran tertentu masih diakomodasi, tak heran bahwa tak banyak manusia yang tertarik menjadi Buddhis. Manusia, kita tahu, adalah makhluk yang menyukai jalan pintas yang serba mudah. Bila suatu ajaran terasa terlalu berat walaupun menawarkan solusi pamungkas bagi derita kita, kebanyakan orang akan memilih yang mudah dan menghibur saja.

Lahir sebagai manusia, memiliki kesempatan untuk mengenal dan mempraktikkan ajaran yang luar biasa ini, adalah suatu keberuntungan yang bisa jadi tak terulang di kehidupan berikutnya.

Bersyukur Lahir di Negeri yang Baik dan Kondusif bagi Perkembangan Batin

Salah satu dari Berkah Utama yang dibabarkan Buddha adalah bertempat tinggal di tempat yang sesuai. Secara ringkas yang dimaksud dengan tempat yang sesuai adalah tempat di mana kita bisa mempraktikkan moralitas, pengembangan batin dan kebijaksanaan dengan baik. Dalam lingkup negara, tempat yang sesuai merujuk ke sebuah negara yang aman dan damai, yang tidak dalam keadaan berperang dengan negara lain. Selain itu, keadaan iklim juga dapat dianggap sebagai tolok ukur suatu tempat masuk kategori tempat tinggal yang sesuai untuk praktik Dhamma. Tempat atau negeri itu haruslah tidak terlalu dingin, tidak terlalu panas, tidak terlalu kering dan tidak terlalu basah, serta tidak sering terjadi bencana alam.

Negeri kita tercinta ini mungkin saja masih belum mencapai tataran negeri adil makmur sejahtera. Banyak pengalaman berbangsa dan bernegara yang hingga kini mungkin masih membuat kita kecewa dan kadang-kadang menyesal lahir di negera seeperti NKRI ini. Misalnya tentang praktik-praktik korupsi yang masih saja tak jera-jera dipraktikkan oleh banyak kalangan, terang-terangan maupun gelap-gelapan atau setengah remang-remang.

Tetapi secara relatif sejak merdeka hingga usia ke-77, kita menikmati kehidupan yang damai dan kondusif bagi pengembangan potensi diri. Tak ada peperangan besar yang melibatkan negara kita dengan negara lain, tak ada kerusuhan besar hingga membuat kekacauan di mana-mana dan orang-orang secara umum tak bisa lagi hidup dengan tenang. Dan meskipun ada praktik-praktik antitoleransi di beberapa daerah dalam kaitannya dengan kebidupan beragama, secara nasional semua pemeluk agama masih bebas beribadah sesuai dengan keyakinannya.

Dan kita sadar atau tidak, banyak orang di dunia yang "iri" dan menganggap negeri kita ini bagaikan surga karena iklimnya yang moderat. Kita secara umum hanya mengenal 2 musim: kemarau dan hujan. Panas kemarau tidak sepanas gurun pasir, dingin musim hujan bahkan tak ada apa-apanya dengan dingin negeri-nergeri Eropa Utara dan sebagian besar negeri dengan empat musim. 

Jangan jauh-jauh  ke Eropa, mari lihat Jepang. Di Jepang musim dingin bisa mencapai minus 35 derajat yang di dalam rumah sendiri suhunya bisa tinggal nol derajat. Orang Jepang harus menggunakan selimut listrik jika ingin tidur saat musim dingin, kalau tidak begitu hidung mereka bisa mimisan (keluar darah). 

Di Eropa musim dingin bisa sangat lama, di beberapa tempat bahkan siang hari bak malam karena tak ada sinar matahari sama sekali dan itu berlangsung hingga 6 bulan dalam setahun. Maka tak heran mereka rentan mengalami depresi akibat kegelapan dan dingin yang berkepanjangan. Dan mereka harus mengunakan pakaian khusus musim dingin. Kalau nekat hanya berkaos oblong apalagi jenis kutang, atau daster dengan sandal jepit, itu berarti bunuh diri.

Kita bagaimana? Pantai indah, matahari bersinar sepanjang tahun, buah-buahan luar biasa bervariasi. Panas tak kepanasan, hujan tak kedinginan.

Bersyukur Menjadi Diri Sendiri

Jika bukan kita yang menyayangi diri, siapa lagi?
Jika bukan kita yang bersyukur atas segala kekurangan diri dan kelebihannya, bagaimana lagi?
Jika bukan kita yang menjadi pulau perlindungan bagi diri kita sendiri, mana ada lagi?

Masih kurang? Sana, baca buku-buku tentang pentingnya menjadi diri sendiri.

**

Bali, 09 Oktober 2022
Penulis: Chuang Bali, Kompasianer Mettasik

Penerjemah Buku "Si Cacing dan Kotoran Kesayangannya (Ajahn Brahm)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun