Mohon tunggu...
Kompasianer METTASIK
Kompasianer METTASIK Mohon Tunggu... Lainnya - Menulis itu Asyik, Berbagi Kebahagiaan dengan Cara Unik

Metta, Karuna, Mudita, Upekkha

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Cara Berderma agar Hoki Instan Kontan

4 September 2022   19:28 Diperbarui: 4 September 2022   19:30 399
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Salah satu ajaran kebaikan yang paling universal adalah berderma. Apapun istilahnya, zakat, perpuluhan, sedekah, atau berdana, esensinya sama saja. Memiliki arti menyisihkan sebagian dari pendapatan kepada mereka yang patut menerimanya.

Dan saya kira, hampir semua manusia di dunia ini sudah pernah melakukan kebajikan sejenis ini. Berderma bisa diberikan kepada siapa saja, kapan saja, dan berapa saja.

Selain itu, yang juga tidak kalah penting adalah selalu ikhlas pada saat berderma. Kelihatannya sepele, tapi pernahkah kita jujur kepada diri sendiri, seberapa tuluskah kita melakukannya?

Saya sendiri termasuk yang (kadang) masih setengah hati dalam berdana. Pada saat bagi-bagi sembako di jalan misalkan, pikiran ini langsung memasang radar, kepada siapakah yang patut menerima?

Pengemis buta, anak jalanan, orang tua, adalah di antaranya. Namun, terkadang paket sembako tersebut "terpaksa" kuberikan juga kepada mereka yang bertubuh sehat.

Setelah itu, ada sedikit penyesalan dalam hati. "Ah, seharusnya ada yang lebih pantas menerima," seperti itu hati ini berbisik.

Mengapa demikian?

Itu karena diriku masih memiliki keserakahan (lobha). Apa yang telah kuberikan kuharapkan untuk kembali. Saya ingin berdana yang benar-benar tepat sasaran, agar mendapat pahala.

Menurut saya tidak sepenuhnya salah. Tentu lebih bijak untuk membantu orang yang sungguh membutuhkan ketimbang mereka yang menghamburkan. Tiada salahnya untuk tetap berdana pada jalur yang menjanjikan.

Lalu, bagaimana dengan harapan untuk mendapatkan pahala?

Pernah ada kasus sebagai berikut dan itu bukan hanya sekali.

Saya membantu seseorang yang kekurangan uang untuk sesuatu, kedengarannya penting. Lain waktu dia minta lagi untuk biaya yang tidak kalah penting. Sampai di sini saya masih membantunya. Tapi, kali ketiga si belio minta duit lagi buat yang paling-paling penting.

"That's it," kuberseru!

Apalagi saya mendengar kabar juga dari kawan-kawan lain jika mereka juga membantu si belio. Jumlahnya tidak sedikit. Dan kerennya lagi, si belio masih sehat.

Akhirnya saya sadar, saya dipertemukan dengan kondisi yang tidak menyenangkan. Bukannya mendapat peluang untuk bertemu karma baik, tapi justru menciptakan karma buruk karena seruan singkatku.

"itu salahmu!" sisi lain dari diriku mengumpatku.

Iya, saya sadar karena berderma seharusnya tidak mengharapkan kembalian, meskipun itu recehan. Coba saja memasukkan duit di kotak dana, apakah ada tombol kembalian seperti pada mesin penjual otomatis?

Tapi, sekali lagi Lobha-ku memiliki argumentasinya juga. Menurutnya, setiap kotak dana pasti bunyinya cling-cling-cling, setidaknya kalau bukan coca-cola yang didapat, paling tidak itu adalah rasa puas dan bahagia.

Misuh-misuh kepada pengemis sehat, laksana mendapatkan minuman soda kadaluarsa.

Jadi, apakah salah jika saya tetap berderma sembari menunggu yang terbaik? Ah, biarlah para Romo yang menjawab pertanyaan ini.

Sekali lagi, saya masih berada dalam kondisi lobbha berkabut sutra ungu. Belum bisa sepenuhnya belajar melepas. Ketidakkekalan (Anicca) kuterjemahkan dalam versiku sendiri -- malu-malu tapi mau.

Jadi saya mencoba saja untuk melakukan derma tanpa beban. Memilih yang mana yang kurasa akan memberikan pahala yang besar. Tidak peduli apa kata orang.

Sayang sunggu sayang, dalam beberapa kali uji coba saya baru sadar. Melakukan derma yang tepat sasaran juga harus disokong dengan timbunan karma baik yang kita miliki. Mau tahu contohnya?

Beberapa saat yang lalu, saya berniat untuk berdana makan pagi kepada Bhikkhu Sangha. Setelah sampai di vihara, ternyata sang Bhikkhu sedang melakukan perjalanan ke luar kota.

Di lain kesempatan, saat beliau ada di Makassar, justru saya yang tidak berkesempatan berdana karena sedang berada di luar kota.

Nah lho...

Ternyata berdana itu juga kompleks ya. Keinginan saja tidak cukup, kondisi juga harus mendukung. Akhirnya saya sadar, dalam Buddhisme berdana adalah membiasakan diri jika suatu waktu kita akan kehilangan. Kebiasaan melepaskan ini adalah "hadiah terbesar" dalam kehidupan.

Cukup? Tidak... Lobha ku masih berdendang "ku tak rela... ku tak rela..." (diiringi musik membahana).

Baiklah, jika memang demikian marilah kita menyeimbangkan keinginan dari si Lobha serakah dengan lawannya si Alobha (tidak serakah).

Dengar lu ya pade; "Kalau tidak mau rugi dalam berdana, maka lakukannlah sesuai kemampuan, sesuai keinginan, dan sesuai waktu."

Dengan demikian tidak ada yang perlu menjadi beban. Itulah cara berderma agar hoki instan kontan

**

Makassar, 04 September 2022
Rudy Gunawan, Kompasianer Mettasik

"Bahkan Angka Pun Tidak Serumit Pikiran"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun