Pikiran buruk pun mulai muncul, saya mulai mencurigai semua yang berada di sana.
"Pasti mereka mengambilnya secara sengaja", pikirku dengan penuh curiga.
"Tapi bagaimana mungkin? Di sini adalah vihara tempat orang-orang bermeditasi, mendengarkan Dhamma, dan melakukan puja bakti", pikiran saya sudah berkecamuk. Semua karena perasaan tidak puas akibat kehilangan liontin yang baru kubeli dengan menggunakan uang jajan yang terakhir.
Semakin saya berpikiran yang buruk-buruk, perasaan saya semakin tidak bahagia. Sesaat kemudian saya pun merenung. Liontin tersebut memang sangat indah dan bernilai religius bagi saya. Tapi apakah layak bagi saya untuk menggenggamnya erat-erat sampai tidak rela kehilangannya.
Tidak masalah apakah diambil orang lain atau apa saja. Toh memang sudah hilang. Semakin dipikirkan, semakin menderita perasaan ini. Lalu saya berpikir bagaimana jika saya relakan saja.
Jika seandainya diambil orang lain, mungkin saja orang itu lebih memerlukannya dibandingkan saya. Sedangkan bagi saya, Buddha Dhamma selalu ada di batin. Jadi untuk apa lagi saya harus menyesali semua itu.
Biarlah yang telah berlalu tidak membuat kita berada di sana. Karena masa lalu telah lewat dan tidak bisa kembali. Saya juga menjadi mengerti bahwa kita akan terpisah oleh apa dan siapa saja yang kita cintai.
Karena dalam Buddha Dhamma, segala sesuatu yang muncul berkondisi dan bergantungan adalah tidak kekal. Apapun yang tidak kekal adalah dukkha. Apapun yang tidak kekal juga bukanlah milikku, bukan aku, dan tanpa diri.
Setelah berkecamuk dan sedih akan kehilangan barang yang saya cintai, saya kembali teringat akan nasehat sang Buddha. Dan akhirnya saya bisa merelakan kehilangan barang tersebut.
Kehilangan barang tersebut masih terasa ringan tetapi bagaimana jika kita kehilangan orang yang kita cintai seperti orang tua, pasangan hidup, atau anak. Inilah tantangan hidup manusia. Semoga kita bisa memahami hidup ini sehingga hidup kita bisa lebih bahagia dan sejahtera.
**