Mohon tunggu...
Kompasianer METTASIK
Kompasianer METTASIK Mohon Tunggu... Lainnya - Menulis itu Asyik, Berbagi Kebahagiaan dengan Cara Unik

Metta, Karuna, Mudita, Upekkha

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Drama Dana Makan Pagi

3 September 2022   07:07 Diperbarui: 3 September 2022   07:18 1186
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pagi hari itu seperti biasanya, aku datang paling awal. Aku sengaja tiba lebih pagi agar aku dapat menyiapkan makanan untuk dana dengan lebih leluasa. Tidak harus senggol-senggolan di dapur vihara yang sempit dan pengap kalau kebanyakan orang.

Karena aku termasuk orang yang malas, maka dana yang kusajikan pun sederhana dan mudah dibuat. Kadang aku membuat bubur dengan variasi ikan, ayam, atau kepiting. Menggoreng chicken wing atau membuat scramble egg. Nah yang terakhir ini menjadi menu dana favoritku setelah sempat vacuum dimasa pandemi. Selain karena bahan-bahannya mudah didapat, juga ringan di kantong.

Ha... Ha... Ha... scramble egg, mumer [baca: murah meriah] tapi bergizi dan yang terpenting sangat mudah dibuat.

Aku menikmati seluruh prosesnya, menikmati harumnya aroma telur bercampur dengan margarin di dalam wajan, mengaduknya dengan perlahan, menikmati sajiannya di atas piring saji cekung berwarna putih. Pokoknya, seluruh proses yang kujalani telah kuisi dengan penuh cinta kasih.

Selagi asyik sendiri di dapur, lamat-lamat kudengar pembicaraan dari balik dinding.

"Wah... dari baunya sepertinya si pelit bikin telur lagi... "

"Ya sepertinya sih begitu, kok dananya telur melulu, lama-lama para Bhante bisa bisulan deh, jangankan Bhante, lihatnya saja sudah bosan"

Weleh ... weleh, ternyata mereka sedang menggosipkanku. Bukannya marah, alih-alih timbul keisenganku. Aku yakin mereka pasti kaget kalau tiba-tiba aku keluar dari dapur. Lalu dengan sigap, aku membawa scramble eggku, berjalan menuju troli penyerahan makanan.

Aku sengaja menyapa mereka tak acuh seolah-olah tidak mendengar ocehan mereka. Aneh aku belum pernah melihat mereka, tapi kok mereka tahu aku sering berdana telur.

"Halo, selamat pagi", sapaku dengan cuek

"Oh ... eh ... ya ... selamat pagi ci", jawab mereka gelagapan dan tampak salah tingkah. Namun topeng keramahan menampakkan seringai senyum palsu dimuka mereka berdua.

"Masak apa ci?", tanya si baju merah nyinyir.

"Telur orak-arik ya? Kalau saya perhatikan si enci dananya telur terus, apa Bhantenya tidak bosan? kalau yang alergian bisa bisulan tuh kalau dikasih telur tiap hari", sambungnya lagi.

"Tul, nama kerennya scramble egg ci", sahutku dengan nada menggoda.

"Soal para Bhante bosan atau tidak, itu bukan urusan saya, yang penting saya sudah melaksanakan niat saya untuk berdana makanan kepada Sangha. Saya sudah berjuang mengalahkan rasa malas saya untuk bangun pagi, menyiapkannya, menyerahkan, dan melimpahkan jasa kepada para leluhur saya."

"Pada saat diserahkan, berarti saya sudah melepaskannya. Dan semua itu saya lakukan dengan penuh kebahagiaan di hati"

"Tapi apakah tidak risih melihat trolinya kosong melompong?" sergah si baju kuning.

"Kenapa harus merasa tidak enak? Bagi saya berdana bukanlah ajang untuk berlomba ...." Kata-kataku terputus oleh kehadiran Feli

"Ci ... elo masak apa? Telur orak-arik ya?" tanya temanku yang tiba-tiba menyerbu masuk dapur sambil terengah-engah.

"Tadi gue mau beli telur pindang, eh ... tapi sepertinya sayur lodehnya enak, jadi selain buat dana, gue juga beli buat elo, gue ingat loe pernah bilang suka sayur lodeh. Btw kita satu troli aja ya" sambung Feli nyerocos tanpa menyadari kehadiran si penggosip.

"Oh, thank you say, iya ... kita satu troli aja, elo kok ingat sayur kesukaan gue?"

Tiba-tiba si baju merah nyerocos lagi, "Kalian berdua kok bisa ya, dana cuma satu macam seperti itu."

Temanku terperangah mendengar ucapan si baju merah, karena pada awalnya dia juga merasa kalau dana tidak cukup hanya satu jenis. Namun setelah kujelaskan kalau melakukan dana tidak usah berlebihan, berlomba, tidak mau kalah dengan orang lain, dan akhirnya mengeluh karena keterbatasan kantong.

"Saya tidak bisa seperti si enci, lihatlah dana kita berdua, ada jajanan pasar, nasi uduk lengkap dengan sayur asam dan ikan asin jambal roti. Tidak ketinggalan juga buahnya. Pokoknya komplitlah, dari hidangan pembuka sampai penutup dan mungkin tidak muat dalam satu troli" sambung si baju merah, tangannya sibuk mengupas jeruk.

"Saya ikut bermudita cita karena berkat dana enci yang super komplit, Bhante bisa makan enak pagi ini. Seandainya saja enci dapat dana makan seperti ini setiap paginya, betapa senangnya para Bhante dan yang pasti Bhantenya tidak jadi bisulan karena makan telur terus."

Ada keterkejutan di wajah meraka.

"Diusahakan dong ci, memberikan makanan lain. Kan tujuan kita berdana supaya diterima dan dimakan oleh Bhante ...." sambung si kuning.

"Tujuan saya berdana adalah untuk melepas kekikiran, keegoisan, kemalasan, kesombongan. Sayang sekali kalau kita sudah bangun pagi-pagi, pontang-panting dalam menyiapkannya, eh ...sampai di vihara, cuma untuk menggossip."

"Tidak usah mengurusi orang, fokus saja dengan diri sendiri. Sayang kan aturan dapat karma baik, eh jadi karma buruk deh gegara gosipin orang ..." imbuhku 

"Ci, yuk kita ikut chanting," ajak Feli sambil menarik tanganku. Dia takut kalau aku terpancing emosi bisa-bisa ribut sejagat deh.

"Tuh ci, gue takutnya kalau ketemu orang seperti itu, tidak enak kan dibacain kayak tadi," celetuk Feli saat berjalan ke Dhammasala.

"Nape ... omongan orang usil elo dengerin, elo tahu tidak, gue dijulukin si pelit sama mereka ?!" aku terkekeh.

"Hah ...kok bisa-bisanya mereka ngatain elo begitu!?! Untung elo tidak ngamuk," Feli memandangiku dengan penuh tanda tanya.

"Mungkin gue dan mereka musuhan di kehidupan yang lalu, sampai-sampai tidak punguh juntrungan mereka usilin gue. Ketemu aja baru sekarang tapi bisa-bisanya dia tahu gue sering dana scramble egg."

"Tapi, untungnya tadi dewa kesabaran sedang berpihak sama gue, sehingga hati dan pikiran gue tidak terpancing untuk emosi. Sayang lah gue udah bangun pagi-pagi ntuk berbuat bajik malah jadi harus menabur karma buruk."

Itulah sepenggalan drama saat dana makan pagi. Terkadang aku suka tertawa sendiri dalam hati, betapa tidak banyak hal-hal yang bisa memancing emosi, dari ibu dapur yang sok pintar tapi malas.

Seringnya cari muka dengan orang-orang berduit, cuci perabotan tidak bersih, sehingga mau tidak mau kita harus mencucinya lagi saat akan digunakan. Atau rebutan peralatan masak. Alih-alih di bagasi mobilku seperti dapur berjalan karena disitu ada wajan lengkap dengan kompor gas portable.

Dan tentu saja ada garam, lada, kecap ikan, minyak goreng, sehingga aku bisa memasak dengan peralatanku sendiri selagi peralatan dapur vihara pindah tempat alias susah dicari.

Ada juga umat lama yang berulah seolah penguasa vihara, main bikin aturan tapi dilanggarnya sendiri. Sabdanya penyerahan troli dilakukan sesuai per kedatangan. Harus antri persis seperti di dokter. Makanya kita para pekerja berusaha datang lebih pagi agar dapat menyerahkan lebih dahulu secepatnya. Karena kami harus berpacu dengan waktu, agar tidak terlambat masuk kantor.

Kami ikuti aturan mainnya, tapi lama kelamaan dia mulai menyelak, alasannya, titip di troli terdepan. Awal-awal sih cuma sambal semangkok kecil yang bisa diselipkan di troli terdepan.

Tapi, eh ... dikasih hati minta ampla, nyelak satu troly. Kalau itu dilakukan di hari minggu atau libur, ya ... monggo silahkan. Tetapi jika itu dilakukan di hari kerja, sori ... sori ... strobery deh.

Tanpa tedeng aling-aling langsung kusembur di depan para Bhante, karena tidak ada alasan baginya untuk bersaing dengan kita-kita ini yang harus mengisi absensi kantor.

Dia tidak berkeluarga dan punya toko kelontong di depan rumahnya yang bisa dia buka tutup sekehendak hatinya. Jarak rumahnya juga hanya beberapa meter dari vihara. Masa sih tidak mau mengalah dengan orang-orang yang harus bermacet-macet ria. Padahal rajin mengikuti retret-retret meditasi tapi kilesanya masih tebal.

Dana pagiku pun kurang sempurna, karena aku tidak pernah sampai saat penyerahan dan pelimpahan jasa. Untungnya di vihara kami ada pindapatta nasi, setelah itu aku langsung ngibrit ke kantor. Itupun pas-pasan dengan jam masuk kantor, tapi paling tidak kuawali hariku dengan berbuat bajik.

Semoga semua mahluk berbahagia.

**

Jakarta, 03 September 2022
Penulis Sumana Devi, Kompasianer Mettasik

Hidup Harus Penuh Sati, Setiap Saat Harus Diamati

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun