"Hah ...kok bisa-bisanya mereka ngatain elo begitu!?! Untung elo tidak ngamuk," Feli memandangiku dengan penuh tanda tanya.
"Mungkin gue dan mereka musuhan di kehidupan yang lalu, sampai-sampai tidak punguh juntrungan mereka usilin gue. Ketemu aja baru sekarang tapi bisa-bisanya dia tahu gue sering dana scramble egg."
"Tapi, untungnya tadi dewa kesabaran sedang berpihak sama gue, sehingga hati dan pikiran gue tidak terpancing untuk emosi. Sayang lah gue udah bangun pagi-pagi ntuk berbuat bajik malah jadi harus menabur karma buruk."
Itulah sepenggalan drama saat dana makan pagi. Terkadang aku suka tertawa sendiri dalam hati, betapa tidak banyak hal-hal yang bisa memancing emosi, dari ibu dapur yang sok pintar tapi malas.
Seringnya cari muka dengan orang-orang berduit, cuci perabotan tidak bersih, sehingga mau tidak mau kita harus mencucinya lagi saat akan digunakan. Atau rebutan peralatan masak. Alih-alih di bagasi mobilku seperti dapur berjalan karena disitu ada wajan lengkap dengan kompor gas portable.
Dan tentu saja ada garam, lada, kecap ikan, minyak goreng, sehingga aku bisa memasak dengan peralatanku sendiri selagi peralatan dapur vihara pindah tempat alias susah dicari.
Ada juga umat lama yang berulah seolah penguasa vihara, main bikin aturan tapi dilanggarnya sendiri. Sabdanya penyerahan troli dilakukan sesuai per kedatangan. Harus antri persis seperti di dokter. Makanya kita para pekerja berusaha datang lebih pagi agar dapat menyerahkan lebih dahulu secepatnya. Karena kami harus berpacu dengan waktu, agar tidak terlambat masuk kantor.
Kami ikuti aturan mainnya, tapi lama kelamaan dia mulai menyelak, alasannya, titip di troli terdepan. Awal-awal sih cuma sambal semangkok kecil yang bisa diselipkan di troli terdepan.
Tapi, eh ... dikasih hati minta ampla, nyelak satu troly. Kalau itu dilakukan di hari minggu atau libur, ya ... monggo silahkan. Tetapi jika itu dilakukan di hari kerja, sori ... sori ... strobery deh.
Tanpa tedeng aling-aling langsung kusembur di depan para Bhante, karena tidak ada alasan baginya untuk bersaing dengan kita-kita ini yang harus mengisi absensi kantor.
Dia tidak berkeluarga dan punya toko kelontong di depan rumahnya yang bisa dia buka tutup sekehendak hatinya. Jarak rumahnya juga hanya beberapa meter dari vihara. Masa sih tidak mau mengalah dengan orang-orang yang harus bermacet-macet ria. Padahal rajin mengikuti retret-retret meditasi tapi kilesanya masih tebal.