Kehidupan manusia sangat misterius. Banyak hal yang terjadi yang tidak bisa kita prediksi, tidak bisa kita hindari dan kalau dijalankan terasa sangat sulit dan penuh dengan tantangan, emosi, duka dan pahit, namun kadang-kadang bisa jadi mendatangkan sukacita dan kebahagiaan yang tidak terduga. Apakah kita bisa menolaknya? Atau hanya bersedia menerima yang sukacita dan bahagia saja?
Sebagian orang lalu bertanya “Kenapa Tuhan membiarkan kita menerima hal-hal yang buruk, bukankah Tuhan itu pengasih dan penyayang? Apakah Tuhan memang sudah mengatur semua hal yang terjadi pada kita?”
Kita bisa mengumpamakan kisah ilustrasi ini untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut.
Ibu Wawa seorang wanita paruh baya, menderita pembusukan di kaki kirinya akibat penyakit diabetes yang dideritanya. Pada awalnya, ibu Wawa tidak terlalu mencemaskan penyakitnya ini, dengan obat-obatan yang diberikan dokter dianggap sudah cukup untuk menstabilkan kadar gula darahnya. Ibu Wawa pun tidak merasa harus diet makanan karena obatnya sangat bagus dan sudah direkomendasikan oleh dokter yang memang sudah terkenal. Saran untuk berolahraga juga diabaikan dengan alasan tidak punya waktu. Hari demi hari berlalu, setelah beberapa tahun berjalan tampaknya memang tidak ada yang perlu dikhawatirkan tentang penyakit ibu Wawa.
Pada suatu hari, ibu Wawa mengalami kecelakaan, kaki kirinya terluka agak parah. Terdapat sobekan akibat tergores besi yang kebetulan ada di tempat terjadinya kecelakaan. Segera ibu Wawa dibawa ke rumah sakit dan mendapatkan perawatan intensif dari perawat dan dokter. Setelah beberapa minggu, luka tersebut tidak menuju perbaikan malah makin parah. Ternyata setelah dilakukan pemeriksaan, kadar gula ibu Wawa sangat tinggi.
Dokter menjelaskan bahwa hal tersebut sangat bahaya karena kadar gula yang terlalu tinggi bisa merusak saraf, menurunkan sistem kekebalan tubuh dan menyebabkan sirkulasi darah memburuk, sehingga menghambat proses perbaikan jaringan tubuh.
Hal yang harus dilakukan bu Wawa adalah berusaha menurunkan kadar gula darah dan mengontrol kestabilannya setelah itu. Namun ibu Wawa tidak mau melakukan diet, karena berprinsip cukup dengan obat-obatan dan Insulin saja..
Luka semakin parah dan nanah semakin banyak menyebar. Akhir cerita, kaki kiri bu Wawa tidak bisa dipertahankan lagi. Vonis dokter adalah amputasi untuk mencegah penyebaran pembusukan luka.
Apakah tindakan amputasi ini bisa dicegah? Kembali ke awal cerita. Siapakah yang salah dalam hal ini? Dokter yang memberi obat, obat itu sendiri, bu Wawa Atau Takdir?
Sebenarnya tugas kita menjaga yang baik itu tetap baik. Jangan karena kelalaian kita dalam mempertahankan kebaikan ini, lalu menyalahkan yang di luar diri kita, termasuk menyalahkan Tuhan.
Mari kita simak lagi cerita ilustrasi berikut ini.
Tara memiliki seorang istri yang baik, Hana namanya. Hana adalah seorang istri yang setia, rajin, dan telaten merawat suaminya. Selain sebagai ibu tangga, Hana juga bekerja, sehingga dia tidak pernah meminta uang kepada suaminya. Hana adalah seorang istri yang sangat mandiri. Bertanggung jawab terhadap keluarga dan pekerjaannya.
Namun Tara sepertinya kurang memberi perhatian kepada istrinya. Ketika istrinya sakit, justru Tara marah dan merasa terganggu. Istrinya harus mengurus diri sendiri. Kadang-kadang perlakuan suaminya menunjukkan bahwa dia merasa istrinya hanya mencari perhatian saja, pura-pura sakit. Istrinya dibiarkan sendirian ketika sedang opname di rumah sakit.
Banyak hal yang menyakitkan yang dilakukan Tara terhadap Hana. Hana berusaha keras mempertahankan rumah tangganya dengan bersikap sabar dan berusaha memikirkan hal-hal positif tentang suaminya. Padahal Hana sangat sedih, sakit dan sering menangis pada saat dia sendirian.
Suatu hari, ketahuan bahwa suami Hana ternyata berselingkuh dengan mantan pacarnya, yang sepengetahuan Hana, mereka sudah tidak ada hubungan lagi. Hana salah, ternyata diam-diam Tara masih berhubungan dengan mantan pacarnya itu.
Dunia Hana seperti sudah hancur, harapannya tentang masa depan sirna seketika. Sakit hati yang luar biasa mendalam membuat dia serasa ingin mati saja.
Ketulusan dibayar dengan pengkhianatan
Kesetiaan dibayar dengan perselingkuhan
Kepercayaan dibayar dengan kebohongan
Tara meminta maaf, berjanji akan berubah dan benar-benar melepaskan selingkuhannya.
Seharusnya Hana merasa bahagia karena Tara berubah dari cuek menjadi suami yang perhatian, mengalah dan berusaha memenuhi keinginan Hana.
Tetapi apa yang terjadi dengan Hana? Seolah-olah Hana sudah berubah menjadi pribadi yang lain. Emosinya tidak stabil, tidak sanggup mengendalikan amarahnya, dan sering melukai fisik sendiri untuk mengurangi sakit yang sangat menyiksa batinnya. Dia jadi pendiam. Selama berbulan-bulan, dia tidak pernah lagi tersenyum. Dia sering melampiaskan emosinya kepada Tara. Tara pun menyalahkan Hana yang tidak bisa menerima keadaan ini. Hana dicap sebagai orang yang tidak sanggup menyembuhkan diri sendiri. Mereka sama-sama mengalami depresi.
Bisakah Tara menghindari depresi ini dari awal? Atau Tara memang terlena dan tidak berusaha melepaskan kenikmatan yang membawa sengsara ini? Bagaimana dengan Hana? Siapa yang akan disalahkan?
Dari dua ilustrasi tersebut, kesimpulan apa yang bisa kita ambil?
Pada saat kita diberi sesuatu yang baik, kita tidak mau memeliharanya. Pada saat kita sudah mengalami hal buruk, kita menyalahkan semua yang ada disekitar kita. Menyesal adalah kata yang sering muncul. Tetapi banyak penyesalan tidak bisa mengembalikan hal baik yang telah dihilangkan dengan sengaja maupun yang tidak sengaja (karena lemahnya kewaspadaan terhadap gejolak nafsu).
Penulis menuangkan cerita ini untuk direnungkan bersama. Menjaga dan mempertahankan sesuatu yang baik jauh lebih penting daripada saling menyalahkan, apalagi sampai menyalahkan Tuhan.
Mencari kembali sesuatu yang hilang tidak segampang pada saat kita menghilangkannya. Jagalah dan pertahankanlah hal baik yang telah ada.
Selalu ada kesempatan untuk membuat hidup kita berkualitas. Kita yang menentukan apakah mau mengambil kesempatan ini atau kita sia-siakan.
Semoga kita memiliki kemampuan untuk menghindari hal-hal buruk dalam kehidupan kita.
**
Pangkalan Kerinci, 26 Agustus 2022
Penulis: Djuwita Ratna
Pendidik | Koordinator 11 Sekolah Hutan Taman Industri Riau
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H