Mohon tunggu...
Kompasianer METTASIK
Kompasianer METTASIK Mohon Tunggu... Lainnya - Menulis itu Asyik, Berbagi Kebahagiaan dengan Cara Unik

Metta, Karuna, Mudita, Upekkha

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Kisah Tante Abie, Kebajikan adalah Pelindung Sejati

25 Agustus 2022   05:27 Diperbarui: 25 Agustus 2022   06:04 691
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kisah Tante Abie, Kebajikan adalah Pelindung Sejati (gambar: dealersupport.co.uk, diolah pribadi)

Tante Abie demikian yang saya kenal, kami sekeluarga berkenalan pada saat mulai rutin berdana makanan ke Vihara setiap minggu minimal satu kali.

Saat itu tante Abie sudah rutin berdana makanan setiap minggu lebih dari lima tahun, sedangkan kami baru memulai. Setelah beberapa tahun berselang, karena kesibukan kerja dan lalu-lintas yang semakin padat, saya tidak ikut, hanya istri kadang anak-anak. Dua puluh tahun kemudian, istri masih sering bertemu ketika berdana makanan. Tidak banyak perubahan, tetap mudah bercerita dibarengi dengan senyum santainya.

**

Ketika jaman Buddha Gautama, para bhikkhu menerima makanan dari umat. Setiap pagi para bhikkhu keluar berjalan kaki dari tempat tinggal dengan membawa mangkuk (patta), berjalan ke arah rumah penduduk. Bagi penduduk yang ingin berdana makan dapat memasukkan makanan ke dalam mangkuk tersebut. Tradisi ini dikenal dengan nama pindapatta.

Dengan jumlah umat Buddha yang tidak banyak, umat juga tidak banyak yang tinggal di sekitar vihara, maka tidak memungkinkan para bhikkhu melakukan hal ini di sini. Sehingga untuk mendukung para bhikkhu umat dari tempat lain datang ke vihara untuk mendanakan makanan.

Sesuai aturan para bhikkhu, yang disebut Vinaya yang berjumlah 227, waktu makan para bhikkhu antara jam enam pagi sampai jam dua belas, setelah itu tidak diperkenankan makan, kecuali minum. Jadi memungkinkan para bhikkhu makan dua kali, pagi dan siang, tetapi ada juga para bhikkhu yang hanya makan satu kali saja, pagi saja atau sore saja, dan itu dilakukan bertahun-tahun.

Para bhikkhu juga tidak diperkenankan untuk memasak. Makanan yang diterima juga tidak boleh disimpan untuk esok hari, kondisi demikian memberikan kesempatan bagi para umat untuk berbuat kebajikan dengan mendukung para bhikkhu berlatih.

Para bhikkhu adalah umat Buddha yang sedang berlatih dengan sungguh-sungguh, mereka meninggalkan keduniawian dengan dukungan 227 aturan demi keberhasilan latihan. Mendukung mereka yang berlatih ini merupakan kesempatan berbuat kebajikan. Dukungan dapat berupa makanan, minuman, obat-obatan, pakaian dan tempat tinggal.

Obat-obatan jika tidak sakit tidak dibutuhkan. Pakaian para bhikkhu hanya satu atau dua jubah, tempat tinggal biasanya sudah tersedia. Jadi kesempatan yang paling memungkinkan adalah mendukung latihan para bhikkhu dengan makanan atau minuman.

Itu sebabnya setelah kami menyerahkan makanan kami langsung ke para bhikkhu kalau pagi jam tujuh atau kalau siang jam sebelas, kami mengucapkan terima kasih. Karena dengan latihan para bhikkhu yang sungguh-sungguh, kami dapat menambah kebajikan mendukung latihan mereka.

Setelah semua dana makanan diterima oleh para bhikkhu, mereka membacakan doa perenungan atas kebajikan yang telah dilakukan dan untuk melimpahkan kebajikan yang baru dilakukan kepada orang tua dan leluhur yang telah meninggal, tidak lupa juga demi kebahagiaan semua makhluk.

Kami semua meninggalkan ruangan, para bhikkhu membacakan perenungan makanan:

Saya, setelah merenung dengan saksama, menyantap makanan, sesungguhnya,
bersantap bukan untuk bermain, bukan untuk bermabukan, bukan untuk berdandan,
bukan untuk berhias, tetapi sekadar untuk beradanya dan berlangsungnya tubuh ini; untuk menghindari gangguan; demi menunjang pelaksanaan hidup luhur; dengan berpikiran, aku akan menghilangkan perasaan (sakit) yang lampau dan akan tidak menyebabkan timbulnya perasaan (sakit) yang baru. Dengan demikian, kelangsungan hidup, ketidaktercelaan, dan kehidupan nyaman akan dapat kuperoleh.

Setelah makanan diterima oleh para bhikkhu, sudah bukan lagi milik kami. Kami sepantasnya tidak mencari tahu atau bertanya-tanya (walaupun dalam hati) apakah makanan yang kami danakan dimakan atau tidak.

Kami juga tidak layak menanyakan apakah makanan kami enak atau tidak, menanyakan apakah makanan kesukaan mereka, karena sikap ini mengganggu latihan mereka. Para bhikkhu melatih untuk melepas kemelekatan, sikap demikian mendorong terjadinya kemelekatan baru.

**

Biasanya para umat datang lebih awal sebelum menyerahkan makanan secara langsung, selama waktu menunggu itulah kami saling bertegur sapa, saling mengenal satu dengan lainnya.

Kisah ini terjadi ketika saya masih rutin ikut berdana, suatu kali kami bertemu tante Abie pada waktu yang berbeda, selesai kebaktian umum pada hari Minggu, ia seperti sedang menunggu. Ketika ditanya sedang menunggu siapa, tante Abie menjawab: "Saya mengajak anak tetangga ikut Sekolah Minggu, sekarang lagi menunggu".  Anak-anak tetangga menjadi temannya, karena anaknya sedang tinggal jauh di Jawa Timur melanjutkan pendidikan.

Suami tante Abie ketika masih ada, adalah seorang sopir angkutan kota (angkot), sayangnya beliau sudah lama meninggal, ketika tante Abie bercerita, tidak ada raut sedih sama sekali. Sekarang ia menyambung hidupnya dengan membuka warung kecil di rumahnya.

Suatu ketika, tante Abie tidak datang berdana seperti biasanya, kami mencari tahu apa yang terjadi. Akhirnya kami mendapat kabar, bahwa rumahnya habis terbakar. Memang beberapa hari lalu terjadi kebakaran besar di daerah yang padat penduduk, tidak menyangka kalau rumahnya ikut terbakar. Tidak banyak informasi yang didapat oleh teman-teman. Akhirnya teman-teman yang hadir bersepakat untuk membantu tante Abie, kami mengumpulkan uang untuk meringankan beban tante Abie.

Setelah uang terkumpul, diutuslah teman yang rumahnya tidak jatuh dari rumah tante Abie. Seminggu kemudian, kami semua mendapat kabar lagi, bantuan kami ditolak walaupun sudah dipaksa, tante Abie mengatakan: "Masih banyak yang lebih membutuhkan daripada saya".

Kami semua terdiam, sedikit terbengong, bagaimana mungkin orang yang rumahnya hangus terbakar menolak diberikan bantuan, bahkan dengan kalimat: "Masih banyak yang lebih membutuhkan daripada saya", mungkin ia sudah merasa cukup dengan keadaannya sekarang.

**

Beberapa minggu kemudian akhirnya tante Abie datang lagi untuk berdana seperti biasa, tidak ada raut sedih, seperti hari-hari sebelumnya. Semua ingin mencari tahu bagaimana keadaannya, bagaimana rumahnya, bagaimana warung, bagaimana dirinya. Ia bercerita:

Terima kasih atas bantuannya, saya tidak dapat menerima, masih banyak yang lebih membutuhkan daripada saya.

Waktu kebakaran, saya tidak ada dirumah. Sebagian barang dikeluarkan oleh tetangga, tetangga mencari-cari saya. Waktu sampai di rumah, semua sudah terbakar habis.

Tetangga saya menangis sedih sambil bercerita. Tetangga saya terheran-heran lalu bertanya: "Mengapa ibu Abie tidak menangis?".

Saya jawab: "Semua tidak ada yang kekal"

Tante Abie menceritakan dengan santai tanpa ada raut sedih, menyesal atau kecewa.

Bertahun-tahun tante Abie memupuk kebajikan dengan berdana, melepas apa yang ia miliki demi manfaat orang lain. Kebajikan tante Abie dengan berlatih melepas, melindungi dirinya dari perubahan yang terjadi. Ketika sesuatu yang berharga miliknya tiba-tiba lenyap, ia dapat melepas karena sudah berlatih melepas.

Kebajikan tante Abie yang melindungi dirinya, pelindung sejati dari kesedihan dan nestapa, pelindung kemanapun ia pergi.

**

Jakarta, 25 Agustus 2022
Penulis: Jayanto Chua, Kompasianer Mettasik

Programmer | Penulis Buku | Praktisi Meditasi

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun