Setelah semua dana makanan diterima oleh para bhikkhu, mereka membacakan doa perenungan atas kebajikan yang telah dilakukan dan untuk melimpahkan kebajikan yang baru dilakukan kepada orang tua dan leluhur yang telah meninggal, tidak lupa juga demi kebahagiaan semua makhluk.
Kami semua meninggalkan ruangan, para bhikkhu membacakan perenungan makanan:
Saya, setelah merenung dengan saksama, menyantap makanan, sesungguhnya,
bersantap bukan untuk bermain, bukan untuk bermabukan, bukan untuk berdandan,
bukan untuk berhias, tetapi sekadar untuk beradanya dan berlangsungnya tubuh ini; untuk menghindari gangguan; demi menunjang pelaksanaan hidup luhur; dengan berpikiran, aku akan menghilangkan perasaan (sakit) yang lampau dan akan tidak menyebabkan timbulnya perasaan (sakit) yang baru. Dengan demikian, kelangsungan hidup, ketidaktercelaan, dan kehidupan nyaman akan dapat kuperoleh.
Setelah makanan diterima oleh para bhikkhu, sudah bukan lagi milik kami. Kami sepantasnya tidak mencari tahu atau bertanya-tanya (walaupun dalam hati) apakah makanan yang kami danakan dimakan atau tidak.
Kami juga tidak layak menanyakan apakah makanan kami enak atau tidak, menanyakan apakah makanan kesukaan mereka, karena sikap ini mengganggu latihan mereka. Para bhikkhu melatih untuk melepas kemelekatan, sikap demikian mendorong terjadinya kemelekatan baru.
**
Biasanya para umat datang lebih awal sebelum menyerahkan makanan secara langsung, selama waktu menunggu itulah kami saling bertegur sapa, saling mengenal satu dengan lainnya.
Kisah ini terjadi ketika saya masih rutin ikut berdana, suatu kali kami bertemu tante Abie pada waktu yang berbeda, selesai kebaktian umum pada hari Minggu, ia seperti sedang menunggu. Ketika ditanya sedang menunggu siapa, tante Abie menjawab: "Saya mengajak anak tetangga ikut Sekolah Minggu, sekarang lagi menunggu". Â Anak-anak tetangga menjadi temannya, karena anaknya sedang tinggal jauh di Jawa Timur melanjutkan pendidikan.
Suami tante Abie ketika masih ada, adalah seorang sopir angkutan kota (angkot), sayangnya beliau sudah lama meninggal, ketika tante Abie bercerita, tidak ada raut sedih sama sekali. Sekarang ia menyambung hidupnya dengan membuka warung kecil di rumahnya.
Suatu ketika, tante Abie tidak datang berdana seperti biasanya, kami mencari tahu apa yang terjadi. Akhirnya kami mendapat kabar, bahwa rumahnya habis terbakar. Memang beberapa hari lalu terjadi kebakaran besar di daerah yang padat penduduk, tidak menyangka kalau rumahnya ikut terbakar. Tidak banyak informasi yang didapat oleh teman-teman. Akhirnya teman-teman yang hadir bersepakat untuk membantu tante Abie, kami mengumpulkan uang untuk meringankan beban tante Abie.
Setelah uang terkumpul, diutuslah teman yang rumahnya tidak jatuh dari rumah tante Abie. Seminggu kemudian, kami semua mendapat kabar lagi, bantuan kami ditolak walaupun sudah dipaksa, tante Abie mengatakan: "Masih banyak yang lebih membutuhkan daripada saya".
Kami semua terdiam, sedikit terbengong, bagaimana mungkin orang yang rumahnya hangus terbakar menolak diberikan bantuan, bahkan dengan kalimat: "Masih banyak yang lebih membutuhkan daripada saya", mungkin ia sudah merasa cukup dengan keadaannya sekarang.