Mohon tunggu...
Kompasianer METTASIK
Kompasianer METTASIK Mohon Tunggu... Lainnya - Menulis itu Asyik, Berbagi Kebahagiaan dengan Cara Unik

Metta, Karuna, Mudita, Upekkha

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Dhamma yang Realistis, Tidak Pesimis Maupun Optimis

21 Agustus 2022   19:24 Diperbarui: 22 Agustus 2022   04:59 1169
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dhamma yang Realistis adalah Tidak Pesimis Maupun Optimis (gambar: freepik.com, diolah pribadi)

Dhammapada XII [Attavagga] 2:158, dokpri
Dhammapada XII [Attavagga] 2:158, dokpri

Salam sehat saudaraku yang berbahagia dalam kebenaran (Dhamma nan mulia), bertemu kembali untuk yang kedua kalinya di Mettasik; Metta yang asik, unik, dan menarik ini. Biarlah para pembaca memperoleh pemahaman dan pencerahan dari tulisan yang singkat dan semoga padat isinya.

Buddhadhamma merupakan ajaran yang realitas, ajaran yang diajarkan sesuai dengan fakta dan kenyataan/realita yang ada, tidak mengurang-kurangi, tidak melebih-lebihkan, dan tidak aneh-aneh serta nyeleneh. Ada dikatakan ada, tidak dikatakan tidak, jadi real, tidak ada yang abu-abu.

Oleh karena itu ajaran Yang Maha Suci Buddha tidak bisa diyatakan sebagai ajaran yang pesimis. Kalau pemahamannya berhenti pada 'hidup ini adalah dukkha, titik', tentu banyak yang memandang agama Buddha adalah pesimis karena mengetahuinya tidak tuntas.

Mereka hanya mengetahui ajaran Yang Maha Suci Buddha mengajarkan hidup adalah dukkha yang secara salah diartikan sebagai derita. Padahal kata 'dukkha' sulit diterjemahkan dalam bahasa lain. Makna yang lebih dekat adalah sulit/sukar (makna kata 'du') memikul beban atau ketidakmampuan menerima perubahan.

Sehingga ajaran ini dianggap mengajarkan sesuatu yang pesimis; tidak ada harapan hidup, dan melihat dengan 'kacamata hitam'. Seolah-olah hidup tidak ada harapan.

Pesimis dapat diartikan sebagai sikap mudah menyerah, tidak percaya diri, dan menyerah sebelum berjuang/berperang. Padahal kalau belajar lebih lanjut, Yang Maha Suci Buddha juga mengajarkan tentang sebab dukkha, berakhirnya/lenyapnya dukkha serta bagaimana jalan menuju berakhirnya dukkha hingga merealisasikan Nibbana.

Dari uraian ini sebenarnya jelas bagi para pembaca bahwa ajaran Yang Maha Suci Buddha bukanlah ajaran pesimis atau optimis, tetapi realistis. Optimis merupakan suatu keadaan saat seseorang memiliki semangat diri yang tinggi, sehingga segala hal merupakan peluang untuk meraih cita-cita, terlalu bersemangat, dan percaya diri yang tinggi tanpa perhitungan. 

Hal ini jika tidak diwaspadai, maka ketika berhadapan dengan masalah yang rumit, maka bisa membuat seseorang down dan pesimis.

Dengan ajaran realistis, Yang Maha Suci Buddha mengajak umat memahami kenyataan dengan real atau bersifat wajar, apa adanya, dan memiliki konsep pemikiran realistis, agar menjadi pribadi yang berguna dan dapat diandalkan di mana pun berada. Pandangan seperti inilah yang membawa diri kita menjadi dewasa dalam berpikir, berucap, dan bertindak.

Yang Maha Suci Buddha mengajak kita untuk hidup saat ini, dengan memanfaatkan kemampuan kita sebaik-baiknya, berguna, dan bermanfaat bagi diri sendiri, orang lain serta lingkungan.

Bukan terus mengingat-ingat masa lalu yang sudah lampau dan sudah dilewati yang akan membuat seseorang menjadi cengeng atau mudah meratap dan bukan pula memikirkan masa depan atau masa mendatang yang belum terjadi seperti mimpi dan belum tentu akan nyata terjadi.

Sebaiknya kita perbaiki masa kini atau saat ini, misalnya dengan mewujudkan hal-hal yang berguna dan bermanfaat baik bagi diri sendiri, pihak lain maupun lingkungan yang membawa perbaikan, kemajuan, dan kebahagiaan tentunya.

Penulis teringat pesan Yang Maha Suci Buddha dalam Kitab Khuddaka Nikaya, Dhammapada [Atta Vagga] 4:160: "Diri sendiri adalah pelindung bagi diri sendiri, karena siapakah pula orang lain yang dapat menjadi pelindung? Setelah dapat melatih diri dengan baik, seseorang niscaya akan memperoleh perlindungan yang sukar dicari".

Diri sendiri adalah pelindung bagi diri sendiri, tidak ada orang lain atau kekuatan lain di luar diri kita yang bisa dan mampu melindungi kita, selain kekuatan kebajikan kita. Kebajikan kita yang dapat membawa kebahagiaan niscaya akan menyertai ibarat bayang-bayang yang selalu mengikuti kita di manapun kita berada (Dhammapada I [Yamaka Vagga] 2:2).

Dengan demikian, kita diajak menjadi pribadi yang tegar, mandiri, dan dewasa, tidak mudah kendur serta tidak suka mengeluh, dan juga berani bertanggungjawab atas perbuatan yang telah dilakukan.

Menjadi pribadi yang mantap menatap ke depan. Melihat kenyataan dan hadapi dengan bijak. Karena setiap orang tentu berhadapan dengan problem/masalah, setiap masalah yang dihadapi tentu ada jalan keluarnya, sepanjang kita hadapi dengan tenang dan terus mencari cara untuk terbebas dari masalah yang dihadapi.

Bukan dengan cara menimbulkan masalah baru, misalnya dengan meminum-minuman yang memabukkan atau menggunakan obat-obat terlarang dan orang-orang yang tidak bijaksana atau tidak mumpumi dalam menyelesaikan persoalan.

Jadilah insan yang mandiri dan dewasa!

**

Medan, 21 Agustus 2022
Penulis: Rudi Hardjon Lin Dhammaraja

Praktisi Pendidikan, Dhammaduta, Motivator .

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun