"Jadi engkoh bukan umat gereja sini?"
"Bukan, saya mah umat vihara."
"Oh gitu Koh, kalo gitu Amitabha ya Koh, Amitabha. Kamsiah udah bantu saya." Jawabnya sambil menangkupkan tangan, kemudian memberikan seplastik penuh donat kepada saya.
Karena saya dan keluarga di rumah tidak menyukai donat dengan taburan gula halus, maka saya sekarang memiliki masalah baru: harus saya apakan delapan buah donat ini?
Tidak jauh dari jalan raya ada sebuah perempatan dengan lampu lalu lintas. Ketika lampu merah menyala, anak-anak jalanan akan langsung mendekati para pengendara untuk menawarkan koran, mengetuk rasa iba beberapa orang agar membelinya.
Saya menghampiri salah satu dari anak itu, memberikannya sebuah donat. Ketika anak itu menerimanya, ia sempat menatap wajah saya dengan tatapan bingung, mungkin ia baru pertama kali mendapatkan kue dari orang asing.Â
Tidak lama ia segera berlari menjauhi saya, membuat saya berpikir bahwa ia ketakutan melihat saya; tetapi ternyata tidak, ia kembali dengan beberapa teman-temannya yang juga sesama anak jalanan. Ternyata ia mengajak teman-temannya untuk mendapatkan donat dari saya juga.
Tanpa sadar, saya ternyata sudah dikelilingi oleh anak jalanan yang menginginkan jatah donat dari saya. Saya pun membaginya satu per satu. Saking banyaknya anak jalanan yang datang, ternyata donat yang saya beli tidak cukup untuk dibagikan kepada mereka.
Tidak mau mengecewakan, saya akhirnya meminta mereka untuk menunggu sebentar. Saya mencari warung terdekat, lalu membeli beberapa wafer bungkusan untuk saya bagikan kepada anak-anak jalanan yang belum kebagian donat.
Tatap wajah mereka begitu lucu saat menerima donat dan wafer. Ada yang menerima donat sambil berteriak kegirangan, ada yang menerima donat sambil meneriakkan nama teman-temannya yang lain agar kebagian juga, bahkan ada yang menerima donat sambil mengelap ingusnya (hahaha...).
Tetapi yang paling epic adalah ada salah satu anak yang mengucapkan terima kasih dengan berkata, "Terima kasih, Om!" (padahal saat itu saya masih berusia remaja akhir).