Mohon tunggu...
Kompasianer METTASIK
Kompasianer METTASIK Mohon Tunggu... Lainnya - Menulis itu Asyik, Berbagi Kebahagiaan dengan Cara Unik

Metta, Karuna, Mudita, Upekkha

Selanjutnya

Tutup

Film Pilihan

Bertemu Dhamma di Drama Korea

19 Agustus 2022   05:24 Diperbarui: 19 Agustus 2022   05:29 617
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bertemu Dhamma di Drama Korea (gambar: viva.co.id, diolah pribadi)

Weekend yang lalu saya tertular anak-anak gadis saya ikut nonton serial drama Korea (Drakor) yang sedang asyik mereka ikuti.

Bermula dari sekilas melihat aktris dan aktornya yang good looking. Saya lalu bertanya, "siapa itu?" Pembicaraan menjadi semakin menarik sewaktu anak saya menceritakan kisahnya.

Wah, menarik juga pikir saya. Selanjutnya saya mulai duduk dan ikut menikmati ceritanya. Nah, mulai deh terkena virus Drakor. Hahaha...

Sekejap kemudian, saya merasa ada yang lain dengan diri saya. Aneh, ini bukan saya.

Dulu kalau melihat tokoh antagonis di sebuah drama, sinetron, atau film, biasanya saya selalu ikut terpancing untuk tidak suka. Membenci bahkan mengharapkan hal-hal buruk akan terjadi kepada si tokoh antagonisnya. Harapan itu muncul begitu saja sebagai balasan dari hal-hal buruk atau jahat yang telah mereka lakukan.

Namun saat menonton drama Korea pada weekend tersebut, saya merasa sedikit aneh. Saya bisa menonton dengan tenang tanpa terpancing emosi. Terutama kepada si tokoh antagonis. Alih-alih tidak suka atau benci, saya malah merasa kasihan dan iba kepada dia. Saya bisa secara sadar melihat ada penderitaan di dalam tokoh antagonis tersebut.

Kasihan dirinya, dia sangat menderita.

Benar "Aneh tapi Nyata". Sesaat muncul keraguan, inikah diriku? Merasa iba kepada si tokoh antagonis, reasanya bukan saya!

Apakah yang terjadi?

Saat memikirkan hal itu, saya bisa merasakan ada aliran sejuk dan lembut mengalir di hati saya. Muncul perasaan bahagia dan syukur. Setelah saya amati, fenomena tersebut bukan saja karena berhasil mengubah cara pandangku tentang rasa iba dan cinta kasih, tapi lebih jauh lagi.

Bahwa saat ini saya sudah bertemu jalan Dhamma dan rutin berlatih meditasi. Saya yakin, dan sangat yakin akan hal itu. Meditasi di Jalan Dhamma telah mengubahku!

Kembali ke acara nonton Drakor...

Sesudah menonton dua episode, saya dan anak-anak memutuskan berhenti dulu. Sudah saatnya makan siang. Di meja makan, kami lalu berdiskusi tentang kisah dalam drama korea tersebut.

Saya pun bertanya kepada anak-anak tentang pendapat mereka terhadap beberapa tokoh antagonis yang ada. Saya sampaikan kepada mereka bahwa saya merasa kasihan dengan si tokoh antagonis, karena "kebodohan-kebodohannya" dia menjadi menderita.

Anak anak saya tertawa dan berkata, "Mama... itu kan cuma drama, ceritanya memang harus begitu, biar seru!"

"Hahaha... ya, mama juga tahu itu cuma drama, kalau tidak ada tokoh antagonis seperti itu pasti ceritanya tidak seru ya, dan tidak ada yang mau nonton, juga ceritanya cepat habis! Hahaha..." ujarku sambil tertawa.

Namun pada kesempatan diskusi kami di meja makan tersebut, saya bisa sedikit banyak berdiskusi tentang ajaran Dhamma dengan anak-anak saya. Bahwa dalam dunia nyata ini, penderitaan seperti yang dialami si tokoh antagonis sebetulnya ada banyak di sekitar kita. Bahkan sebetulnya kita sendiri sering seperti si tokoh antagonis.

Menderita karena "kebodohan" kita sendiri dengan terus menggenggam kemarahan, terus hidup dalam dendam masa lalu, tidak mau melepas. Terus bergumul dalam kebodohan, dendam, dan sakit hati sehingga berpikir baru bisa lega dan bahagia kalau sudah membalas.

Satu kalimat dendam yang sering diucapkan dalam drama Korea tersebut adalah,"Dia harus merasakan apa yang aku rasakan!" ...

Aduh! Mengerikan sekali ya!

Saya memberikan pemahaman kepada anak-anak saya bahwa dendam dan niat membalas seperti itulah sumber api penderitaan kita. Penderitaan kita disebabkan oleh pilihan kita sendiri.

Tidak mau melepas, terus memelihara kemarahan, tidak ada niat meminta maaf dan memaafkan. Tidak memilih hidup di saat ini, namun terus memilih hidup dalam memori masa lalu. Bergumul dengan dendam dan kejadian yang sudah lewat, itulah semua sumber api penderitaan yang akan terus membakar diri kita.

Saya tahu dan seperti yang anak anak saya bilang "Ini cuma drama, Mama!"

Namun untuk saya, bukanlah sebuah kebetulan. Di akhir pekan itu saya bisa duduk bersama anak-anak menonton Drakor.

Bersyukur karena dari Drama Korea tersebut kami berkesempatan untuk bertemu "Guru" dan belajar Dhamma dalam suasana santai di rumah kami.

Dari hati yang terdalam sungguh saya sangat berterima kasih kepada Semesta, dapat bertemu dan bertumbuh di Jalan Dhamma. Bisa berbagi, berdiskusi dengan anak-anak saya tentang sumber penderitaan. Lebih jauh lagi, menemukan jalan keluar dari penderitaan kita adalah berkah termulia.

Terima kasih Drakor!
Terima kasih Dhamma!

**

Semoga semua hidup berbahagia,
Semoga semua bisa bertemu Jalan pencerahan dan keluar dari penderitaan!

**

Jakarta, 19 Agustus 2022
Penulis: E.P, Kompasianer Mettasik

Tabur Tuai

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun