Siapkah kita menghadapi kematian? Umumnya orang tidak suka membicarakan kematian. Kapan pun topik ini diangkat, mereka akan merasa tidak nyaman.
Kita tidak akan pernah mau kehilangan atau berpisah dengan keluarga yang kita cintai. Tapi selama kita hidup, kita tidak dapat menghindari hal ini. Pepatah mengatakan: Dari kelahiran menuju ke kuburan. Dari kuburan menuju ke kelahiran. Selama roda kehidupan masih berputar, hal ini akan terus berlanjut.
Haruskah kita terus meratap atas kepergian keluarga dan kerabat kita? Sedih tentu, kita bukan arahat, kita masih manusia yang belum terbebaskan. Tapi sebaiknya kita dapat segera sadari, kalau perpisahan ini adalah sesuatu yang pasti akan kita alami.
"Berpisah dengan orang yang kita cintai adalah dukkha (penderitaan)"
Mengenali dan menerima kenyataan apa adanya akan menciptakan perasaan netral. Hal ini akan membawa kebaikan bagi kita dan juga bagi kerabat yang berpulang. Kita coba untuk menyingkirkan keterikatan kita, atau setidaknya melemahkannya.
Sadari pula, kelak suatu saat nanti, giliran kita yang akan meninggalkan dunia yang fana ini. Kita pun ada dalam antrean ini dan tidak dapat keluar dari antrean tersebut.
Bicara mudah, teori juga mudah. Apakah akan semudah itu kenyataannya? Â Bagaimana cara agar kita siap untuk menerimanya?
Berusaha untuk sadar setiap saat (mindfulness), sadari kalau semua "anicca", tidak kekal adanya. Mereka yang rutin bermeditasi pasti akan merasakan perbedaannya.
Saat kehilangan atau berpisah dengan keluarga yang kita cintai. Perasaan sedih tidak akan berlama-lama dan tidak sedalam jika dibandingkan sebelum berlatih meditasi. Bermeditasilah dengan rajin sebelum badai yang lebih besar datang melanda.
Hendaknya kita sadari, kepergian kerabat kita, memang karena karmanya sudah selesai untuk kehidupan saat ini. Lepaslah beliau dengan hati ikhlas, untuk melangkah menuju ke kehidupan selanjutnya.