Mohon tunggu...
Kompasianer METTASIK
Kompasianer METTASIK Mohon Tunggu... Lainnya - Menulis itu Asyik, Berbagi Kebahagiaan dengan Cara Unik

Metta, Karuna, Mudita, Upekkha

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Dia yang Norak, Mengapa Kamu yang Menderita?

27 Juli 2022   05:05 Diperbarui: 27 Juli 2022   05:08 374
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dia yang Norak, Mengapa Kamu yang Menderita? (gambar: freepik.com, diolah pribadi)

Seorang kawan FB pernah memposting status yang menceritakan tentang reaksi teman-temannya ketika melihat si kawan ini selalu berpenampilan atasan dan bawahan itu-itu saja, dari hari ke hari. 

Mirip tokoh kartun yang amat sangat jarang atau bahkan tak pernah berganti kostum dari episode perdana hingga serialnya tamat. Misalnya seperti Sponge Bob, Nobita, Doraemon, dan seterusnya. Pernah melihat mereka berpenampilan beda? Jarang, kan?

Kepada teman-temannya yang usil itu, yang mencela dia seolah-olah tak punya pakaian lain selain itu-itu saja, kawan ini berkata kira-kira begini: Suka-suka gue dong mau pakai baju apa. Kalau kalian nggak senang lihatnya, ya derita elu-elu-lah...!

Karena kurangnya perhatian penuh dan kebijaksanaan, tanpa sadar kita sering bertingkah seperti teman-teman usil dari sang kawan FB itu. 

Ketika kita dalam perjalanan bermobil dan terjebak macet karena ada pekerjaan perbaikan jalan, misalnya, kita mulai kesal dan menggerutui panjang kali lebar plus kali tinggi (biar jadi gerutuan 3D) para pekerja yang sedang bekerja keras banting tulang di bawah terik matahari yang di atas (bukan yang suka bikin sale, diskon dan obral, ya)

Mereka yang sedang kerja keras, kok kita yang menderita?

Gerutuan adalah ekspresi penderitaan, suatu jenis kebencian atau penolakan atas kenyataan yang ada. Di sana ada unsur kemarahan yang kadarnya mungkin hanya sepoi-sepoi saja, tetapi tetap saja itu adalah derita.

Atau ketika kita menerima perlakukan buruk dari orang lain, kita menjadi sedih karena tak dihormati selayaknya sesama manusia sesuai dengan sila ke-2 Pancasila butir ke-1.

Dia yang melakukan karma buruk dalam bentuk perilaku tak pantas yang melanggar sila ke-2 Pancasila butir ke-1, lantas kok kita yang menderita?

Kesedihan jelas adalah penderitaan. Memperoleh atau mengalami perlakukan buruk dari orang lain berarti kita sedang memetik buah karma buruk, karena semua pengalaman buruk yang kita alami disebabkan oleh bibit buruk yang sudah kita tanam di kehidupan atau momen lampau, yang mana pengertian lampau ini tidak harus terentang panjang jauh ke belakang tetapi bisa juga telah ditanam di kehidupan ini juga tapi pada satu tahun lalu, satu bulan lalu, satu minggu lalu, satu hari lalu, satu jam lalu, satu menit lalu, atau satu detik yang lalu.

Dan dengan respon berupa kesedihan atas perlakukan buruk itu, sekaligus kita sedang menanam karma buruk baru berupa kebencian karena kesedihan memiliki akarnya dalam kebencian selain juga pada kegelapan batin.

Lalu karma buruk yang baru ini pun mempunyai potensi untuk berbuah dan harus kita petik dalam bentuk pengalaman buruk lagi di masa mendatang yang tidak harus terentang panjang jauh ke depan, tetapi bisa jadi akan berbuah dalam waktu sedetik, sehari, seminggu, sebulan, atau setahun lagi dari sekarang.

Dengan respon yang tidak bijaksana seperti ini, lingkaran setan karma buruk tidak akan berakhir di sini: roda aksi-reaksi buruk berputar terus selama kita tidak menyadari apa yang telah kita lakukan itu, respon kita itu, yang sepintas sering dianggap wajar itu, adalah respon yang tidak bermanfaat dan bahkan berbahaya karena hanya menambah tebal kilesa.

Tapi tenaaaangg.... Semua masalah ada jalan keluarnya, karena kalau tidak ada solusiya maka itu bukanlah masalah. Dan kalau bukan masalah, buat apa dipermasalahkan. Tul, kan?

Hihihi... (bukan ketawanya Mak Lampir, ya)

Serius duarius, sebenarnya Buddhisme menawarkan cara lain untuk merespon pengalaman buruk, yakni dengan perenungan yang bijaksana, perhatian yang mengarah ke sumbernya atau dalam bahasa Pali disebut yoniso manasikara.

Ketika kita mengalami perlakukan buruk dari orang lain, alih-alih marah atau sedih (respon negatif, tidak bijaksana), kita bisa mengarahkan perhatian kepada perenungan bahwa:

Perlakukan buruk itu kita pahami sebagai buah karma buruk yang sedang kita petik. Sesuai dengan hukum karma: siapa menanam mangga maka dia akan memetik mangga, dan hil yang mustahal bila ada semangka berdaun sirih (eh!).

Dengan perlakukannya yang buruk kepada kita, kita menyadari si pelaku sebenarnya sedang mencelakai dirinya sendiri karena telah menanam bibit karma buruk yang berpotensi memberikan buah buruk kepadanya, cepat atau lambat. Dan dari kesadaran ini, kita menjadi berwelas asih kepada si pelaku.

Dengan dua jenis perenungan ini, tentang sedang memetik buah karma buruk dan tentang berwelas kepada si pelaku yang sedang menanam karma buruk, kemarahan atau kesedihan dapat dicegah sehingga kita tidak lagi membuat karma buruk baru sebagai respon atas buah karma buruk yang sedang kita petik.

Maka rentetan aksi-reaksi karma buruk bisa berhenti sampai di sini saja, dan malahan kebijaksananlah yang muncul sebagai hasil dari perenungan bijak yang kita lakukan.

Dan menerbitkan kebijaksanaan adalah karma baik, buahnya pasti manis.

Mau buah yang harum-manis atau busuk-pahit?

**

Denpasar, 27 Juli 2022
Penulis: Chuang Bali, Kompasianer Mettasik

Penerjemah Buku "Si Cacing dan Kotoran Kesayangannya" (Ajahn Brahm)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun