Mohon tunggu...
Kompasianer METTASIK
Kompasianer METTASIK Mohon Tunggu... Lainnya - Menulis itu Asyik, Berbagi Kebahagiaan dengan Cara Unik

Metta, Karuna, Mudita, Upekkha

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Dia yang Norak, Mengapa Kamu yang Menderita?

27 Juli 2022   05:05 Diperbarui: 27 Juli 2022   05:08 374
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dia yang Norak, Mengapa Kamu yang Menderita? (gambar: freepik.com, diolah pribadi)

Dan dengan respon berupa kesedihan atas perlakukan buruk itu, sekaligus kita sedang menanam karma buruk baru berupa kebencian karena kesedihan memiliki akarnya dalam kebencian selain juga pada kegelapan batin.

Lalu karma buruk yang baru ini pun mempunyai potensi untuk berbuah dan harus kita petik dalam bentuk pengalaman buruk lagi di masa mendatang yang tidak harus terentang panjang jauh ke depan, tetapi bisa jadi akan berbuah dalam waktu sedetik, sehari, seminggu, sebulan, atau setahun lagi dari sekarang.

Dengan respon yang tidak bijaksana seperti ini, lingkaran setan karma buruk tidak akan berakhir di sini: roda aksi-reaksi buruk berputar terus selama kita tidak menyadari apa yang telah kita lakukan itu, respon kita itu, yang sepintas sering dianggap wajar itu, adalah respon yang tidak bermanfaat dan bahkan berbahaya karena hanya menambah tebal kilesa.

Tapi tenaaaangg.... Semua masalah ada jalan keluarnya, karena kalau tidak ada solusiya maka itu bukanlah masalah. Dan kalau bukan masalah, buat apa dipermasalahkan. Tul, kan?

Hihihi... (bukan ketawanya Mak Lampir, ya)

Serius duarius, sebenarnya Buddhisme menawarkan cara lain untuk merespon pengalaman buruk, yakni dengan perenungan yang bijaksana, perhatian yang mengarah ke sumbernya atau dalam bahasa Pali disebut yoniso manasikara.

Ketika kita mengalami perlakukan buruk dari orang lain, alih-alih marah atau sedih (respon negatif, tidak bijaksana), kita bisa mengarahkan perhatian kepada perenungan bahwa:

Perlakukan buruk itu kita pahami sebagai buah karma buruk yang sedang kita petik. Sesuai dengan hukum karma: siapa menanam mangga maka dia akan memetik mangga, dan hil yang mustahal bila ada semangka berdaun sirih (eh!).

Dengan perlakukannya yang buruk kepada kita, kita menyadari si pelaku sebenarnya sedang mencelakai dirinya sendiri karena telah menanam bibit karma buruk yang berpotensi memberikan buah buruk kepadanya, cepat atau lambat. Dan dari kesadaran ini, kita menjadi berwelas asih kepada si pelaku.

Dengan dua jenis perenungan ini, tentang sedang memetik buah karma buruk dan tentang berwelas kepada si pelaku yang sedang menanam karma buruk, kemarahan atau kesedihan dapat dicegah sehingga kita tidak lagi membuat karma buruk baru sebagai respon atas buah karma buruk yang sedang kita petik.

Maka rentetan aksi-reaksi karma buruk bisa berhenti sampai di sini saja, dan malahan kebijaksananlah yang muncul sebagai hasil dari perenungan bijak yang kita lakukan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun