Kita sudah tidak asing dengan kata dewa, namun demikian dewa bukanlah sosok yang hadir dalam kehidupan sehari-hari. Mereka tidak berada di jalan raya, tidak naik kendaraan umum, tidak pula nongkrong di kafe.
Oleh karena itu, sangat wajar jika setiap manusia memiliki persepsi yang berbeda terhadap sosok para dewa. Mereka yang konon memiliki mata batin seringkali menggambarkan dewa sebagai sosok yang agung, penuh welas asih, dan sakti tentunya.
Lebih lanjut lagi, dewa pun bermanifestasi. Karena dianggap sakti, ia pun disebut baik hati. Mereka yang bermasalah dalam kehidupan lantas mencari relasi ke alam dewa. Dupa ditancapkan, permohonan diucapkan, doa dilafalkan. Semua demi permintaan, semoga saya baik-baik saja.
Konon ada beberapa orang yang memiliki kemampuan khusus, tiket dari surga yang membuat mereka mampu berbicara dengan para dewa. Mereka yang frustasi dengan keadaan bahkan berani membayar mahal demi keberkahan yang tidak biasa ini.
Lalu benarkah demikian? Apakah para dewa dapat menyelesaikan permasalahan umat manusia?
Dalam agama Buddha, dewa adalah mahluk terpilih yang terlahir di alam dewa, karena karma baiknya telah terkondisikan. Mereka telah banyak berbuat kebajikan, menjaga moralitas (sila), terampil mengolah batin (samadhi), dan memiliki kebijaksanaan (panna).
Lalu dimanakah mereka? Meskipun umat Buddha sudah paham jika alam dewa itu ada, tapi belum pernah ada program studi tur ke sana. Beramai-ramai mengunjungi alam dewa dan kembali lagi ke dunia ini.
Jadi jika kita belum pernah melihat dewa, apakah kita patut mempercayainya? Marilah kita abaikan pergolakan batin ini sejenak dan mulai merenung.
Adakah orang yang baik hati di sekitarmu? Mereka yang suka menolong, tidak grasa-grusu, dan sering mempraktikkan segala bentuk kebaikan?
Tentu ada, meskipun jarang sekali kita menemukan manusia dengan paket lengkap. Baik dan buruk terkadang datang silih berganti. Tentu, karena mereka bukanlah dewa.