Mohon tunggu...
Kompasianer METTASIK
Kompasianer METTASIK Mohon Tunggu... Lainnya - Menulis itu Asyik, Berbagi Kebahagiaan dengan Cara Unik

Metta, Karuna, Mudita, Upekkha

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Tidak Melekat Vs Mudah Menyerah, Pilih yang Mana?

21 Juli 2022   03:53 Diperbarui: 21 Juli 2022   03:58 272
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tidak Melekat vs Mudah Menyerah, Pilih yang Mana? (gambar: istockphoto.com, diolah pribadi)

Suatu hari ada tulisan dalam grup perpesanan yang menceritakan tentang seseorang pengusaha, namun karena tidak hati-hati ia ditipu sehingga membuatnya rugi besar. Singkat cerita mantan pengusaha tersebut banting stir dan memutuskan untuk menjadi supir seorang Samana.

Memilih banting stir atau menjadi apapun tentunya adalah hak yang bersangkutan. Namun yang cukup membuat alis berdenyit adalah komentar yang memuji pilihan sang pengusaha. Seolah melayani seorang Samana lebih mulia, mengurangi keserakahan, menjauhi kemelekatan dan hidup lebih tenang.

Ada kisah lain lagi tentang seorang lelaki yang berprofesi sebagai penceramah agama. Ia menceritakan bahwa hidupnya lebih tenang dibandingkan dengan kehidupan adik perempuannya. Sang adik menjalankan usaha toko kelontong. Ia selalu terlihat sibuk dan seolah-olah menjadi budak uang dalam menjalankan hidupnya.

Memilh menjadi penceramah agama sebagai pilihan adalah hak si pemilih, namun komentar bahwa sang adik yang menjadi budak uang menjadi menarik untuk didiskusikan.

Sebenarnya masih banyak lagi contoh yang bisa diulik, namun kali ini cukup dua contoh saja untuk dijadikan bahan diskusi.

Kehidupan kaum Samana adalah mulia dan terhormat bila memang dijalankan dengan penuh kesadaran, sepenuh hati, dan memahami segala konsekuensinya. Memilih jalan hidup sebagai seorang Samana juga bermanfaat jika bertujuan untuk mengembangkan batin, menjalankan sila kewajiban dengan tujuan untuk mencapai Nibbana.

Kehidupan kaum Samana di negara sekuler tentunya memerlukan dukungan umat, masyarakat, dan pemerintah, sehingga bisa menjalankan tugas pokok dan fungsinya dengan baik.

Sebagai seorang umat biasa yang dapat menyisihkan waktu dengan baik dan menyempatkan diri melayani kaum Samana tentunya adalah perbuatan luhur dan perlu diapresiasi. Memberi pelayanan tanpa pamrih kepada kaum Samana tentunya akan menghasilkan pahala karma vipaka yang baik untuk kehidupan di kemudian hari.

Lalu apakah dengan membanting stir dari seorang pengusaha menjadi pelayan sang Samana dapat disebut lebih mulia? Dikorelasikan juga dengan manfaat mengurangi keserakahan, menjauhi kemelekatan, dan hidup lebih tenang.

Harap berhati-hati, karena anggapan ini berpotensi menimbulkan tafsiran yang salah terhadap implementasi ajaran Buddha. Sekali lagi melayani Samana dengan tulus adalah hal yang baik, walaupun tidak harus meninggalkan profesinya. Bayangkan apa yg terjadi dan siapa yang akan menopang kaum Samana bila anggapan melayani harus meninggalkan profesinya.

Keserakahan bukan diukur dari berapa besar yang bisa diperoleh, tapi berapa besar yang bersedia dikeluarkan dengan tulus untuk membantu sesama, lingkungan dan Buddha Dharma.

Bila dalam kehidupan yang lalu seseorang memiliki timbunan karma baik dalam berdana, menolong orang yang kekurangan maka tentunya dalam kehidupan ini ia akan menuai hasil karma tersebut dengan kemudahan mendapat rezeki, berpotensi menjadi kaya raya.

Dengan demikian, mengatakan orang yang berpotensi mendapatkan uang yang berlimpah adalah serakah itu tidaklah tepat. Namun bila orang tersebut kikir dengan kekayaan yang dimilikinya, tidak mau menolong mereka yang sedang membutuhkan, tidak terbuka hati dan pikirannya melihat penderitaan orang yang perlu dibantu, hanya memikirkan diri sendiri, dan menimbun kekayaan yang dimilikinya maka perilaku seperti ini bisa dikategorikan serakah.

Kemelekatan tidak harus berbanding lurus dengan jumlah materi yang kita miliki. Seseorang yang memiliki hanya sehelai pakaian bisa jadi sangat takut kehilangan milik satu-satunya.

Menyadari sepenuhnya bahwa hidup adalah perubahan, tidak kekal dan tanpa aku tentunya bisa menyadarkan ketidakmelekatan. Walaupun ini perlu latihan dan olah batin.

Hidup tenang menjadi dambaan banyak orang. Ketenangan hidup tidak bisa diidentikkan dengan ketidakadaan materi, bahkan kekurangan materi bisa membuat kehidupan tidak tenang. Menjalankan kehidupan di jaman sekarang memerlukan materi, bahkan termasuk dalam menjalan ibadah.

Menjalankan hidup memerlukan sumber pendapatan, mendapatkan sumber pendapatan dipengaruhi oleh ketrampilan yang dimiliki, keuletan dalam bekerja, luasnya pengetahuan, besarnya koneksi, semangat pantang menyerah, dan kemampuan melihat peluang.

Kombinasi dari elemen-elemen juga dukungan karma sebelumnya sangat menentukan keberhasilan dan berapa "kerasnya" seseorang bekerja. Kadang perlu waktu yang cukup panjang untuk berhasil, kadang waktu yang cukup pendek. Berjuang untuk keberhasilan tidak selalu menjadi budak uang, tidak berjuang dengan sungguh-sungguh juga bisa mengakibatkan kekurangan dalam hidup.

Sering kita jumpai orang-orang yang "bersembunyi" dan menjadikan ajaran Buddha sebagai tameng untuk tidak melakukan yang bisa jadi lebih "nyaman" dengan mengatakan tidak mau serakah, melekat, dan ingin hidup tenang menjadikan alasan untuk tidak berbuat.

Pertanyaannya apakah yang bersangkutan sedang berusaha Tidak Melekat atau Mudah Menyerah....??? Sejujurnya... hanya dia yang tahu.

**

Jakarta, 21 Juli 2022
Penulis: Idris Gautama So, Kompasianer Mettasik

Akademisi dan Praktisi Manajemen

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun