Mohon tunggu...
Kompasianer METTASIK
Kompasianer METTASIK Mohon Tunggu... Lainnya - Menulis itu Asyik, Berbagi Kebahagiaan dengan Cara Unik

Metta, Karuna, Mudita, Upekkha

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Kisah Tiga Sahabat Sejati yang Belajar dari Anak SMP

18 Juli 2022   05:05 Diperbarui: 18 Juli 2022   05:15 5515
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ini kisah tentang tiga orang sahabat. Sebut saja nama mereka Dul, Zul, dan Tom. Mereka tinggal di ujung desa, masih sekitaran Tangerang.

Sejak dari bangku Sekolah Dasar, mereka telah menjadi sahabat karib. Meskipun di bangku SMP, SMA, bahkan kuliah, mereka tidak bersama. Akan tetapi persahabatan mereka tidak pernah luntur.

Persahabatan mereka cukup seru untuk dikisahkan. Tentang tiga kepala dengan tiga sifat dan karakter yang berbeda.

Dul yang bergaya seni, lulus jurusan perfilman. Meskipun tidak berotak encer, tapi tetap saja lulus. Dia ini tipikal anak cuek, kuliah juga targetnya lulus saja. Mungkin karena paham kekurangannya, Dul memanfaatkan kekuatannya.

Dul pandai bergaul, segala level bisa masuk. Makanya meskipun kerja tidak tetap, banyak saja proyek yang disikatnya. Ada saja yang tertarik mengikat kontrak. Entah proyek yang ada hubungan dengan jurusan kuliahnya atau yang bukan yang sama sekali. Tapi yang bagusnya, semua pelanggan puas atas hasil kerja Dul.

Zul beda lagi. Ia anaknya pendiam. Sedari kecil orangtuanya selalu mendorongnya untuk mengambil jurusan akuntansi. Zul tampaknya menurut saja, tapi memang cocok buat dia. Buktinya ia lulus dengan hasil yang jelas, nilainya sangat memuaskan.

Saat mahasiswa lainnya masih kerepotan mengirim lamaran, Zul sudah digondol perusahaan besar. Sesuai dengan pandangan umum, rahasia hidup susah untuk diterka.

Kisah Tom lebih unik lagi. Waktu di SD, pelajaran matematika-nya selalu pas-pasan. Tapi entah apa yang terjadi, ia lulus PTN, ambil MIPA pula. Saat ini Tom jadi guru. Bukan lagi guru yang pas-pasan, tapi yang serius dan selalu menerapkan standar yang tinggi. Ia bisa dikatakan seorang perfeksionis yang dihormati.

Setelah cukup lama tidak kopdar, mereka akhirnya bertemu. Kebetulan setelah kuliah, mereka bertiga memutuskan untuk bergabung dalam sebuah organisasi sosial. Tujuannya agar mereka tetap terkoneksi, walau sudah sibuk dengan pekerjaan masing-masing.

Saat itu, organisasi sosial tersebut sedang melakukan proyek renovasi gedung kantor. Banyak dana yang dibutuhkan, kas organisasi tidaklah cukup untuk menyokongnya.

Salah satu dedengkot organisasi kemudian menunjuk Tom sebagai pimpinan proyek. Tom mengiyakan, dengan catatan jika kedua sohibnya itu juga mau terlibat.

Syahdan, di siang hari yang cerah itu pun mereka bertemu. Sebuah tempat hangout di zaman kuliah dulu.

Sambil menyeruput minuman kesukaan masing-masing, Tom mengawali percakapan pada siang itu. "Bro, lu tau kan si dedengkot organisasi kita? Dia menunjukku sebagai pimpina proyek renovasi gedung kantor," Tom berujar dengan mimik serius.

"Tapi gua punya persyaratan, bro. Makanya kita ketemu ini hari," lanjut Tom.

"Gue terima dengan catatan elo-elo mau membantu gue. Hitung-hitung, kita belum pernah kerja sosial yang serius, bro. Selama ini cuman bagi-bagi bansos doang," Tom terus menyerocos.

Kedua kawannya tidak menanggapi. Dul terlihat serius dengan gawainya, sementara Zul lebih memilih menikmati cappuccino kesukaannya.

Suasana hening sejenak, lalu terdengarlah suara Zul. "Bro, lu kan tahu, gue orang akuntansi. Ini saat gue lagi sibuk-sibuknya mengurusi laporan pajak."

"Justru itu bro, gue tahu lu akuntan yang jago. Nyusun anggaran seharusnya pekerjaan enteng," Tom mencoba meyakinkan Zul.

"Iya, tapi lu juga harus ngerti, bro. Gue kan harus utamakan pekerjaan kantor. Tapi, ya udah. Demi persahabatan kita, gue bantu deh. Tapi jangan kasih gua tenggat waktu, ya." Tom tersenyum senang mendengar jawaban Zul, sembari mengangkat kedua jempolnya.

Dul yang baru menyelesaikan chatnya, kini ikut nimbrung. "Begini bro, udah lu gak usah omong. Gue tahu lu mau gue handle desainnya kan. Meskipun gue bukan interior desainer, tapi elo orang harus mengakui jika hasil kerja gue pasti bagus."

"Buekkkk..." Zul dan Tom dengan kompak menunjukkan mimik mau muntah.

"Pokoknya gue bantu, kebetulan proyek gue juga udah banyak yang hampir selesai. Gue bisa all out deh."

"Demi persahabatan," Dul berujar. Kedua sahabatnya pun saling menyahut, "demi persahabatan."

Sambil menghela nafas, Tom buka suara, "Gue senang benar, sahabat gue emang gak ada matinya. Mau bantu dan mendukung."

Sebelum mereka meninggalkan cafe tersebut, mereka pun menyepakati beberapa hal yang harus ditindak lanjuti.

Beberapa hari setelah pertemuan, belum ada perkembangan yang berarti. Grup perpesanan mereka bertiga pun masih sepi. Maklum Zul memang sedang sibuk, ia harus menyelesaikan laporan audit dan pajak juga. Kalau Dul terbiasa cuek, jarang banget buka obrolan. Sementara Tom sendiri juga tidak terbiasa berbicara jika memang perlu.

Tom yang perfeksionis, tidak sabar menunggu. Setelah selesai mengajar, ia pun memulai obrolan. "Met siang Bro Dul dan Zul, apa kabar. Sehat-sehat dan semuanya sukses".

Sepuluh menit berlalu, baru ada tanggapan dari Zul. "Met siang juga Bro Tom dan Dul, sehat-sehat selalu dan lagi padat nih kerjaan". Menyusul komentar dari Dul, "Met siang, sehat-sehat selalu dan lagi selesaikan proyek seperti biasa".

Merasa kurang mendapat respons yang antusias, Tom pun lanjut mengirim obrolannya. "Zul kira-kira proposal dan hitungan budget selesai kapan?"

Lima menit kemudian Zul membalas obrolan, "Tom, ini gue beneran lagi repot banget, sementara kalau loe yang rancang dulu bagaimana?".

"Walah Zul, yang kayak gini gue beneran kagak bisa nih. Biasa lue yang jago, ya udah gue tunggu sampai minggu depan deh", pungkas Tom singkat.

Entah apa yang terjadi, ruang grup perpesanan yang biasanya santai, tetiba menjadi panas. Tom yang merasa tidak puas, lanjut mengirim obrolan, "Kalau lu berdua nggak mau bantu bilang saja, ya udah gue kerja aja sendiri semuanya."

Zul membalas dengan gaya yang cukup keras, "jangan mentang-mentang jadi ketua, semua minta serba jadi dong!!!"

Dul yang sedari tadi diam, kemudian ikut nimbrung, "lu orang ngapain sih. Mestinya ditanggapi santai saja, kita kan semua sahabat." Tapi, tidak ada lagi respons lanjutan. Hari itu, grup perpesanan ditutup dengan sepi.

Diam-diam ada sedikit penyesalan di hati Tom. Ia berpikir jika Zul adalah sahabatnya sedari kecil. Seharusnya obrolan santai tidak dibawa terlalu serius. Tapi meskipun sudah disadari, yang namanya ego sulit hilang. Tetap saja Tom bergeming. Diapun diam, tidak lagi ketik obrolan hingga berhari-hari lamanya.

Hari itu, seperti biasa Tom sedang mengajar. Secara kebetulan ada mata pelajaran kerja kelompok. Kira-kira ada lima kelompok kerja dengan masing-masing ketua kelompoknya.

Tugas Tom adalah mengawasi dan memberikan supervisi. Saat menjalankan tugasnya dengan serius, perhatiannya tertuju kepada kelompok tiga. Kelompok ini berdiskusi dengan tenang di bawah arahan ketua kelompoknya. Sementara grup yang lain krasa-krusu, tidak tahu apa yang mau dikerjakan.

Tom lalu memperhatikan dengan seksama. Semakin diperhatikan semakin menarik. Ketua kelompoknya benar-benar memandu tim. Selain mengarahkan, ia juga tidak segan membantu anggotanya.

Tom tercenung. Luar biasa, masih SMP tapi sudah mampu menunjukkan kepiawaian dalam kerja kelompok.

Sedetik kemudian, Tom terhenyak. Ia langsung teringat kepada kejadian beberapa hari lalu. Sungguh sebuah pukulan telak baginya. Anak SMP telah mengajarkannya sesuatu hal yang berguna pada hari itu. Mengapa yang sederhana sampai terlupakan?

Pengalaman kerja kelompok tiga anak SMP disekolahnya begitu melekat. Dua hari merenung dan berpikir, kesalahan ini harus diperbaiki. Tapi sudah terlanjur panas beberapa hari lalu.

 "Gue harus jadi satria tangguh, jangan karena hal beginian persahabatan jadi rusak. Harus segera diselesaikan bagaimanapun caranya", celetuk Tom.

Diambillah perangkat pintar diatas meja kerjanya, "Zul, Dul, selamat sore. Sebelumnya gue mau minta maaf. Beberapa hari lalu emosi dan gue akuin salah. Besok kita ketemu di tempat biasa ya".

Malam berlalu dengan begitu cepat. Keesokan harinya, mereka berkumpul kembali. Percakapan pertama yang mewarnai hari itu adalah ucapan Zul, "nih proporsalnya sudah selesai."

Belum lagi hilang rasa kaget Tom, Dul pun menimpali, "nih desain awal gedung baru."

Ternyata, setelah Tom mengirim chat permohonan maaf, tiga puluh menit kemudian pekerjaan Zul dan Dul sudah mereka selesaikan. Alhasil, waktu berkumpul yang seharusnya membicarakan pekerjaan, terisi dengan obrolan-obrolan santai.

Zul dan Dul mengaku jika hari itu, mereka cukup terganggu dengan sikap Tom yang mendominasi. Tapi, mereka tidak lantas melupakan persahabatan mereka sedari kecil. Mereka tidak pernah saling menjelek-jelekkan satu sama lain. Kalaupun ada yang mengganjal, lebih baik langsung to the point. Meskipun pahit, tapi lebih baik seperti itu. Daripada saling menjerumuskan.

Itulah salah satu alasannya, Zul dengan gaya cool pada saat pertemuan sudah menenteng laptopnya. Bersama dengan Dul, mereka sudah menyiapkan segala persiapannya. Mereka sadar, tidak mau urusan kecil, akhirnya merusak persahabatan mereka.

Memang, sesadar-sadarnya kita, kadang persahabatan bisa menjadi permusuhan. Benar banget, kalimat Gus Dur yang terkenal "gitu aja kok repot".

Juga ada dua kata yang terkenal, tapi susah banget kita praktikkan "forget and forgive". Bolehlah kita tiru kisah Dul, Zul, dan Tom, meskipun banyak konflik yang terjadi, namun mereka yang bergelar para Kalyanamita tetap bersahabat.

Pro dan kontra adalah hal biasa, tinggal bagaimana mengelolanya. Dan di sore yang cerah itu, setelah puas dengan senda gurau, menyeruput minuman kegemaran, akhirnya Dul, Zul, dan Tom, tiga sahabat karib kembali ke rumah masing-masing dengan hati gembira.

Salam dari pojokkan kota Tangerang. 

**

Tangerang, 18 Juli 2022
Penulis: Suhendra, Kompasianer Mettasik

Eksekutif Keuangan | Pengajar | Aktivis Sosial dan Keagamaan  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun