Setiap hari mendiang Ibu Mertua begitu telaten memberi makan si Labi-labi beberapa kali sehari. Tanpa sungkan mereka langsung menyambar makanan dengan rakus dalam sekali caplok. Sehingga tubuhnya makin gembul penuh lemak.
Singkat cerita, ketidakkekalan pun dialaminya. Bayi labi-labi berubah wujud menjadi labi-labi dewasa yang ukurannya terbilang besar. Bila di tukarkan dengan sejumlah Rupiah, nilainya cukup lumayan untuk jajan es buat warga sekampung.
Tentu saja tidak kami lakukan sebab tak tega jika mereka harus jatuh ke 'malaikat pencabut nyawa' bersenjata golok. Karena kolam tempat tinggalnya sudah terasa sesak akhirnya kami memutuskan untuk melepasnya di sungai Cisadane.
Sejenak sebelum di lepaskan ke dalam sungai, Saya dan Suami 'berbincang' pada mereka agar hidup baik-baik dan berusaha jangan sampai tertangkap manusia. Hiduplah dengan bebas dan bahagia.
Ada perasaan ikut senang meluap melihat mereka dapat berenang di sungai Cisadane yang luas membentang. Anehnya, mereka seperti mengerti yang kami katakan. Mereka berenang melawan arus mendekati tempat kami berdiri. "Pergilah..." kataku sambil melambaikan tangan memberi tanda untuk segera menjauh.
Beberapa kali mereka memalingkan kepala ke arah kami sambil berenang menjauh. Hingga akhirnya mereka benar-benar sudah tak terlihat. Mata ini berkaca-kaca menahan bahagia melihat mereka akhirnya dapat hidup bebas lepas.
Mereka mungkin hanyalah labi-labi namun mereka pun tahu berterima kasih. Seperti Saya dan kita semua yang pasti ingin bahagia, pun semua mahluk. Sebait doa kami kirimkan agar mereka dapat hidup bahagia.
**
Jakarta 9 Juli 2022
Penulis: Karly Santosa, Kompasianer Mettasik
Karyawati
        Â