Bulan tujuh penanggalan lunar sering disebut bulan ceng beng, sembayang bagi para leluhur yang sudah meninggal.
Ingatanku berkelana semasa almarhum Mama masih hidup. Setiap tahun, mama akan mempersiapkan paket persembahan berupa hidangan kesukaan kakek, nenek, terdiri dari lauk-pauk, buah, kue, nasi dan minuman.
Pagi sebelum berangkat sembahyang. Aku bertugas ke pasar, "Dek, tolong beliin buah tiga macam, masing-masing tiga atau lima buah. Kalau kamu beli buah pir kulit coklat cukup satu. Kuenya terserah kamu, asal jangan lupa kue mangkoknya. Tiga jenis saja, kebanyakan nanti enggak ada yang makan. Sayang!" pinta Mama.
Sementara, di rumah, mama memasak dan menata perlengkapan yang akan dibawa ke tempat sembahyang. Tiga mangkok nasi dan masakan. Teh berikut cemilan dan lainnya untuk disajikan.
Mamaku adalah tumpuan pihak keluarga mama ataupun papa. Sebagian keluarga mama tidak paham dengan ceng beng. Menurut mereka, toh leluhur sudah meninggal. Untuk apa disembahyangi? Pekerjaaan sia-sia.
Beda kondisi dengan keluarga papa. Karena tanteku tinggal di luar Jakarta, jadi ia meminta mama yang mengaturnya. Sedangkan om, adik papa harus persiapan buka toko setiap pagi sebelum berangkat sembahyang.
***
Satu minggu sebelum harinya, keluarga mama dan papa berembuk untuk berjumpa di rumah abu dan pekuburan. Persembahyangan dilakukan di rumah abu untuk leluhur mama dan di pekuburan kepada kakek, nenek papa.
Kami berangkat pagi-pagi karena rerata keluarga mendiang yang melakukan upacara ceng beng inginnya sembahyang mendekati puncak acara di tanggal 15. Sehingga Sabtu dan Minggu adalah hari favorit karena libur sekolah dan libur kerja.Â
Pengalamanku, kalau pas sampainya sekitar jam 09.30 -- 10.00 pagi. Siap-siap saja berlinang air mata. Buat main sinetron, mata sembap dan merah, cocok banget. Itu kondisi di rumah abu.
Asap dupa menguar ke segenap area. Ruangan panas dan pengap. Berkabut. Jarak pandang terbatas. Sayangnya bukan di Puncak, Dingin. Eeh. Di sini, ventilasi udara kalah cepat dengan kepulan hio yang terbakar.
Akupun menjadi salah satu penyumbang pekatnya udara pembakaran dupa. Dengan media tiga batang hio, doaku "Semoga para leluhur dan sanak saudara yang telah meninggal yang tidak dapat disebutkan namanya satu persatu dapat ikut berbahagia dengan kebajikan yang telah kulakukan selama ini sehingga dapat terbebas dari segala penderitaan dan dapat berbahagia. Sadhu, sadhu, sadhu."
Beda ceritanya di tempat pemakaman. Setiap tahun bila kami pergi ke tempat peristirahatan nenek dari papa. Aku bingung cari lokasinya. Mungkin karena daya ingatku kurang tajam. Atau penghuni di sana semakin padat. Seperti penduduk dunia. Nenek mempunyai banyak teman baru setiap tahun. Jalan selangkah, sudah kaveling penghuni lain.
Jalanan ke sana pun macet. Banyak anak kecil dan orang dewasa tetiba muncul dan antre menunggu untuk mendapatkan rezeki musiman, setahun hanya sekali, kata mereka.
**
Waktu bergulir, dan entah berapa purnama sudah berlalu. Mama pun mendahului dan meninggalkan kami. Anicca, tidak ada yang kekal. Namun, kematian adalah hal yang pasti. Aku tumbuh dan tetap menjalankan ritual itu.
Namun ada yang tidak sama. Seiring waktu, pengaruh lingkungan dan bertambahnya pemahaman tentang buddhisme. Aku pun mulai mengerti dan semakin bangga menjadi anak Mama.
Aku ingat kata-kata Mama "Kamu harus ingat, tanpa ada kakek dan nenek, mana mungkin ada Mama, Papa, Koko dan kamu. Mama tahu, enggak semua orang ingat kebaikan leluhurnya, tapi kamu tidak boleh lupa sampai kapanpun. Jangan seperti kacang lupa pada kulitnya."
Mama adalah seorang penyabar dan penyayang pada sanak keluarga dan lingkungannya. Ia sering siapkan telinga menjadi pendengar yang baik ketika ada perselisihan individu. Memberikan advis dan anjuran. Merangkul saat mereka tak berdaya.
Sejatinya kisah Mama seperti lembaran cerita yang tidak pernah habis dibaca. Viriya (semangat) untuk merubah orang yang disayangi dan orang di sekitarnya menjadi lebih baik. Melukis kehidupan mereka dengan beragam warna kebajikan.
Ternyata ceng beng yang sering diungkapkan mama dalam tradisi Tionghoa adalah pelimpahan jasa (Pattidana) dalam buddhisme. Pattidana dapat dilakukan kapan saja dan dalam bentuk apapun. Kebajikan tidak lekang oleh waktu.
Kebajikan dapat berupa memberikan bantuan kepada sesama makhluk hidup yang membutuhkan. Antaranya memberikan nasihat, ikut berempati dan simpati. Berbahagia (bermudita citta) ketika orang lain berhasil atau bahagia. Atau memberikan kebebasan pada hewan di alam bebas.
Setelah melakukan kebajikan, mari kita selalu mengundang para leluhur untuk ikut berbahagia dengan getaran perbuatan baik yang telah kita lakukan melalui pelimpahan jasa.
Dikisahkan Raja Bimbisara dari Kerajaan Magadha yang mengundang dan mempersembahkan dana kepada Bhikkhu Sangha. Ia melimpahkan, membagi dan mengajak para leluhur, sanak keluarganya untuk ikut berbahagia atas perbuatan baik yang dilakukannya. Sehingga mereka yang saat itu berada di alam peta merasakan getaran kebajikannya dan turut berbahagia. Didalam kebahagiaannya otomatis terlahir kembali di alam-alam bahagia, minimal langsung terbebas dari penderitannya.
Mari kita pupuk terus paramita (kumpulan kebajikan) menjadi kekayaan sejati yang sesungguhnya.
Ayo, kita semua melakukan perbuatan baik yang lebih banyak lagi, yang bermanfaat bagi diri sendiri, orang tua, lingkungan sekitar, alam semesta dan para leluhur.
Semoga semua makhluk hidup berbahagia.
**
Jakarta, 10 Juli 2022
Penulis: Iing Felicia, Kompasianer Mettasik
Praktisi Pendidikan
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H